Dikisahkan pula Dewi Kunti
yang melahirkan Karna dan Pertemuan Pandu dengan Kunti, Madrim dan Gandhari
Kisah sebelumnya Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma
Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.
Kisah sebelumnya Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma
Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.
Narasoma dan Pujawati telah menetap
di Mandaraka, kehadiran mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati.
Pujawati sangat bersuka cita, kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang
baru, hidup di lingkungan istana yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang
setia menemani. Dewi Tejawati ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya
sangat menyayanginya, mereka selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat
mendiang bopo resi.
Pada suatu hari di Paseban Agung
istana Mandaraka, Prabu Mandrapati memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain
selain mereka berdua, seakan ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang
prabu kepada putranya.
"Narasoma, saat ini Prabu
Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin menikahkan putrinya, namun ia
menginginkan seorang kesatria yang cakap dan tangguh untuk dijadikan menantu,
maka dari itu ia berencana akan menggelar sayembara. Kepada siapa saja yang
dapat memenangkan sayembara, Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunti
Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa
Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam darah kita mengalir juga darah
mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu ayahanda ingin ananda mengikuti
sayembara agar jalinan kekerabatan kita menjadi semakin kukuh. Ayahanda
percaya, ananda akan dapat memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda
sebagai putra mahkota Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja
mancanegara."
Narasoma tertegun mendengar
keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan bingung, sebab jika ia mengikuti
sayembara dan memenangkannya, maka Dewi Kunti akan menjadi istrinya, sedangkan
ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi ia sudah berjanji tidak akan menikahi
wanita lain selain Pujawati, tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti
tentu ia akan mendapat kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu,
Narasoma mencoba menjelaskan kepada ayahandanya.
"Ampun ayahanda prabu,
sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati. Bahkan, di
hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah tidak akan
menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai seorang kesatria, ananda
tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu, bukannya ananda menolak
mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya tidak ingin menduakan Pujawati
dengan siapapun."
Prabu Mandrapati mencoba membujuk
agar putranya mau mengikuti sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara
halus dan berdalih, membuat Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak
memiliki bakti kepada orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu
Mandrapati merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu
Prabu Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar
dan punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat
prihatin dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba
melihat suaminya terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang
selalu menangis di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun
mengurusi ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi
pengobatan.
Narasoma hanya bisa tertunduk di
samping pembaringan ayahandanya. Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga,
kepada ayahanda, ibunda, adik dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak
juga kunjung sembuh, maka Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan
ayahandanya. Ia berbisik kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk
mengikuti sayembara. Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari
tabib sakti untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri
Mandura.
Mandura (Mathura)
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi Prita)
sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari Raja Surasena
yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat Prabu Basukunti
sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada
saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang bernama
Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh
kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti
dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Alkisah, sebenarnya sayembara yang
digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah
menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah
mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal
saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari
pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan
mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di istana Mandura, Resi Druwasa
sangat terkesan dengan prilaku dan pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat
santun dan patuh, berbudi pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain,
apalagi kepada orang tua dan gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa
menganugerahi japa mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana
kegunaan mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai
yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti
menerima japa mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di
kaputren, ia sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah
memberi amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar
dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang,
rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.
Ketika itu Dewi Kunti sedang
menyendiri di taman Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara
hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi
Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat
taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah
berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.
"Apa yang kau inginkan dariku,
dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat
keelokan Batara Surya.
"Hamba hanya mencoba mantra
dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah membacakannya
ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."
Sejak saat itu, tidak ada lagi
kata-kata terucap dari dua insan yang telah sama-sama terpaut hati, menyelami
samudra hati diantara mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti
berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar pernikahan, membuat seluruh
keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah
karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga
raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu
tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah muridnya,
dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.
Untuk menjaga nama baik keluarga
kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunti akan
melahirkan putra pertamanya dari Batara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang
bayi Kunti melalui telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar
keperawanan Kunti tetap terjaga.
Setelah putra Surya terlahir, Prabu
Basukunti memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih
dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya
yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga). Bayi elok
yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir Kerei
Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya
dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh
Adhirata, kusir kerajaan Hastinapura.
Salimbara (Sayembara)
Negeri Mandura telah ramai
dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh
mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati
oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat
Mandura ingin menyaksikan sendiri ketangguhan kesatria yang akan memboyong
putri sekar kedaton, dewi Kunti Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu para
kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara mencoba
memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang
diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada
dalam sangkar besi yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah
burung di dalam sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan
sayembara. Satu persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara
luruh berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di
dalam sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat
menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada
celah-celahnya.
Kegagalan para peserta sayembara
sempat membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka
mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada
pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik
keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu
memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara
digelar, namun belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan.
Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain
adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah
pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua
yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib
serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para kesatria
tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?
Narasoma melepas anak panah dari
busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih
menatap sangkar yang berputar, yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan.
Serentak sorak sorai meriuh, menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka.
Panah Narasoma menembus seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya.
Prabu Basukunti beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya
ada seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.
Narasoma dielu-lukan oleh rakyat
Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang telah memenangkan pertempuran di
medan perang. Setelah semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu
menghadap Prabu Basukunti di pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari
kerumunan penonton sayembara datang tiga orang satria menuju pelataran
sayembara, salah satu dari mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat
Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.
"Siapa gerangan kisanak
bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan, nama hamba Pandu
Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba Widura. Kami putra
Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura. Kedatangan kami tidak lain adalah
ingin mengikuti Sayembara Kunti Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun setelah
mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. ternyata kalian dari
wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh sangat
disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti
Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra
mahkota Mandaraka."
Para putra Hastina tertunduk setelah
mendengar sayembar ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka
ternyata terlambat, namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat,
tiba-tiba Narasoma menahannya.
"Jika paduka berkenan, biarkan
mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu Basukunti
mengulang kembali sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik
untuk menguji ketangguhan putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah
tersohor keberbagai negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah
disegani kawan dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan
ia hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu
setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji
kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang sama
dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang
sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak
bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya
setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu Narasoma? Kau
yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah
peraturan!"
"Kalau begitu, biar hamba yang
membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunti Nalibrata telah menjadi hak
hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunti."
Prabu Basukunti sangat tersinggung
dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah menjadi
haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak
menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus
bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati
yang menjadi sahabatnya sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah
Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma
melakukan kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir baik.
"Aku memberi kesempatan padamu
untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika kau mampu
melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata
akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya, maka negeri
Hastina menjadi negeri taklukan Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut mendengar
perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi para kesatria Kuru
masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.
"Kedatang kami ke Mandura hanya
ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu
telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan turut
undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan
perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi hormat
kepada Prabu Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi
meninggalkan Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut menghadapi
tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang tersohor itu? Aku
kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Baharata. Apakah
kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian
sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak membekalimu?
Kata-kata Narasoma sangat
merendahkan di depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas.
Terlebih Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan
marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya,
agar sang kakak bisa menahan emosi.
"Apakah kau membiarkan orang
lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang Destarata kepada adiknya,
hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan Narasoma.
"Aku tidak pernah menolak
tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak
menolak!"
Masih disaksikan oleh ribuan rakyat
Mandura, para kesatria dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali
digelar. Pandu Dewanata berdiri di tengah gelanggang, gondewa dan anak panahnya
telah siap dalam genggaman. Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu
membidik sasarannya. Panah melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya
tenaga yang mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang.
Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu
melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu
mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam sangkarnya,
ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai terdengar
mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.
Narasoma tidak menyangka Pandu mampu
melakukannya, dan dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti
Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti
telah menjadi milik Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak
disangka akhirnya ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura.
Keesokan harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata
memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.
Saat menuju perjalanan pulang, di
tengah perjalanan, masih dalam wilayah negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata
terhenti. Pandu menghentikan laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah
menghadang seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah
Narasoma. Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan
Mandura, ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan
gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia
teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang
akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta
dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan
terus terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan?
Semua itu hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma
memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah
menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang
perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan kemarin kurang
menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan itu.
Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi Kunti
kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim
kepadamu."
"Silahkan, kau yang memulai
Narasoma..."
Keduanya lalu terlibat perang
tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan
Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya,
sama-sama menguasai ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata
terdesak oleh serangan Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu
pula sebaliknya. Narasoma sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang
dilancarkan Pandu.
Perang semakin menjadi, daya-daya
kesaktian mereka memporak porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan,
pohon-pohon tumbang dan terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti,
Narasoma terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari
mulutnya, dadanya berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu
ingin menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak
membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi
Bhagaspati.
"Narasoma... Aji Candrabhirawa
sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya
dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih
sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau
sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari
suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik,
patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di
telinganya, seolah sang resi membisikan langsung kepadanya, mengingatkan
sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak
memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji
Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan
seringai taring yang terlihat menyeramkan.
"Chandrabirawa! Binasakan
musuhku!"
Raksasa Chandrabirawa segera
melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat
serangan demikian, Pandu segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa kali pusaka Pandu melukai
tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib!
setiap percik darah yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud
menjadi raksasa cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa.
Tanpa diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak.
Pandu terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia
mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya,
tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan
menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit, menangkis,
dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian Chandrabirawa
karena akan semakin bertambah banyak.
"Duuh... ayahanda Resi
Abyasa... ayahanda Bhisma... putramu keteteran menghadapi musuh-musuh
ini..."
Pandu membatin. Ia merasa putus asa
menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat
bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening
cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha
Tunggal.
Raksasa-raksasa Chandrabirawa
kebingungan ketika melihat musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak.
Naluri mereka pun mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang
yang menjadi lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta
raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang
hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa melesat kembali masuk
ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak
mempergunakannya melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu
tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam
kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan
Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba bangun,
ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya Narasoma menyerah,
dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke Hastinapura.
Pandu beserta rombongan kembali
melakukan perjalanan pulang ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali
dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala
dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara
segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.
Harya Suman dan Pandu kemudian
terlibat perang tanding, tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama.
Putra mahkota Gandhara bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan
mudah Pandu dapat membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji
akan memboyong kakaknya, Dewi Gandhari ke Hastinapura.
"Aku pegang janjimu, jika kau
berdusta, maka Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"
Hastinapura mendapatkan tiga putri
boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka,
dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan
dipasangkan dengan Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura
menolak. Ia beralasan ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan dengan
dirinya, maka Widura memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah
banyak berjasa dalam memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata sebagai
putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga
putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak
dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan
diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak
terpilih oleh Destarata.
Dewi Gandhari dengan dibantu
adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan
maksud agar dirinya tidak terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang
selalu menggunakan naluri, menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat
ia mencium bau hanyir ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu
justru mengingatkannya pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya,
maka Destarata memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.
Pandu Dewanata kemudian naik tahta
menjadi raja Hastinapura menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Krisna Dwipayana)
yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan
Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria
utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna,
sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.
Sementara, Narasoma sendiri telah
dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah
meninggal setelah mendengar kegagalan putranya dalam merebut sayembara.
Narasoma menjadi raja Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim
Pujawati, Narasoma dianugerahi lima orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi
istri Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati
(kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah
satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti
raksasa. Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang
raksasa.