PUPULAN CARITA WAYANGANGGEN " TITI PENGANCAN "
Sumber: "MAJALAH SARAD BALI" di kolom
SEKILAS TENTANG SUDHIWADANI
Oleh: Ida Pandita
Dukuh Acharya Dhaksa
Pada zaman global kini saya melihat beberapa
tantangan akan dihadapi warga Hindu di Indonesia, tak terkecuali di Bali. Untuk
itu, orang Hindu harus mampu memberikan jalan keluar cerdas sehingga aturan
agama tetap teguh dijalankan. Di sisi lain keinginan orang lain memeluk Hindu
pun tak patut dihalangi. Sehubungan dengan tantangan ke depan inilah saya ingin
menanyakan beberapa hal kepada Ida Pandita.
1. Ada wanita pemeluk Hindu melangsungkan perkawinan dengan orang Barat
yang non-Hindu. Pasangan ini menikah di negeri Barat lewat prosesi upacara
bukan Hindu. Jika kedua mempelai sepakat tinggal di Bali dan memilih ikut agama
Hindu, kemudian memiliki anak, bagaimana supaya anaknya bisa diupacarai
layaknya warga Hindu di Bali?
2. Ada wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri
Barat juga dengan cara non-Hindu. Seandainya pasangan ini bercerai dan si
wanita bersama anaknya memilih tinggal di Bali, bagaimana agar anaknya bisa
diupacarai secara Hindu di Bali?
3. Bila wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan (berdasarkan
hasil kumpul kebo) dengan orang Barat, bagaimana cara supaya si anak ini bisa
diberikan upacara yang lengkap sebagai orang Hindu Bali?
4. Jika ada wanita Bali memiliki anak di luar perkawinan (hasil
hubungan kumpul kebo) bersama orang Barat, tapi saat ini pasangan itu sudah
pisah. Bagaimana caranya agar anaknya bisa diberikan upacara yang lengkap
sebagai orang Hindu Bali?
Itulah beberapa persoalan yang saya lihat dan tak mustahil akan terjadi
di Bali atau dialami oleh orang Bali.
Lembaga umat
Hindu, seperti Parisada, sudah memutuskan dan menetapkan proses yang bisa
dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan memeluk agama Hindu. Aturan
tersebut, antara lain, diatur dalam keputusan Mahasabha Parisada. Proses yang
dilakukan sesuai dengan pertanyaan Saudara yang pertama, yakni bila ada pemeluk
Hindu (orang Barat) sedangkan pasangan ini menikah di Barat dengan proses
non-Hindu, kemudian mereka berkeinginan memeluk agama Hindu dan menetap di
Bali, maka harus diawali dengan proses upacara sudhiwadani, yakni suatu proses
pengesahan seorang non-Hindu untuk menjadi pemeluk Hindu. Upacara ini sangat
sederhana dan dapat diambil dari tingkatan paling kecil, seperti byakala,
prayascitta, pangulapan, pabersihan, dan banten ayaban. Sarananya bisa berupa
canang sari, atau yang lebih besar dalam wujud banten daksina pejati. Jadi,
dengan upacara sudhiwadani seseorang yang ingin memeluk agama Hindu sudah
dianggap sah secara Hindu.
Seandainya ada
wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri Barat lewat cara
non-Hindu, kemudian pasangan ini bercerai dan si anak diserahkan kepada ibunya.
Jika ibu beserta anaknya ingin memeluk agama Hindu, maka proses yang harus
dilakukan selain disahkan lewat upacara sudhiwadani adalah mesti melewati
upacara manusa yajnya, layaknya warga Hindu di Bali. Antara lain: upacara
abulan pitung dina (42 hari), tiga bulan (105 hari), enam bulan (210 hari). Ini
bisa dilakukan bertahap. Itu kalau memungkinkan.
Berbeda halnya
kalau perceraian itu terjadi ketika anaknya sudah remaja, maka upacara
pengesahan dari lahir hingga upacara ngotonin (enam bulanan), dapat dilakukan
sekaligus, bersamaan dengan upacara sudhiwadani. Prosesinya juga sederhana.
Contoh, dalam prosesi tiga bulanan. Saat ini juga dilakukan pengesahan nama si
anak melalui upacara. Kalau toh sebelum usia tiga bulan atau 105 hari, sesuai kalender
Bali, anak bersangkutan sudah memiliki nama lengkap yang dibuktikan lewat akte
kelahiran yang dikeluarkan Dinas Catatan Sipil, maka nama tersebut tak perlu
lagi diubah. Apa yang tertera di akte kelahiran, itulah yang dipergunakan dalam
upacara tiga bulanan. Untuk upacara lain, sesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Tak mesti bermegah-megah kalau hal tersebut memang tak memungkinkan dilakukan.
Menyangkut
pertanyaan ketiga, yakni seorang wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan
berkat hasil hubungan gelap (kumpul kebo) dengan orang non-Hindu, kemudian ada
keinginan supaya si anak ini dapat diberikan upacara lengkap selayaknya orang
Hindu di Bali. Kalau saja proses upacara perkawinan kedua pasangan ini bisa
dilangsungkan dan sah menurut agama, tentu kasus yang Saudara ajukan
terselesaikan secara elok. Anak yang lahir tersebut sah secara hukum maupun
agama. Bukan sebagai anak bebinjat.
Berbeda jika
pasangan kumpul kebo ini tak mau melangsungkan perkawinan baik secara aturan
Hindu ataupun mengikuti ketentuan agama pasangan kumpul kebonya. Jalan keluar
yang mungkin diambil: wanita yang melahirkan anak di luar nikah ini bisa
mencari seorang calon wali anaknya. Sebab, dalam proses perkawinan harus ada
wali yang mungkin akan mengangkat si anak tanpa ayah sah itu. Misalkan, dengan
keluarga dekat atau orang-orang yang memang secara sukarela mau melakukan itu
sehingga si anak menjadi sah menurut agama.
Kalau tak ada
pihak laki yang menjadi wali dan mengangkat si anak, bisa mengikuti sila, yaitu
aturan-aturan yang bisa kita lihat pada zaman kerajaan dulu, di mana wanita
yang hamil di luar perkawinan bisa melakukan proses perkawinan dengan simbol tertentu
yang ditentukan agama. Misalkan, dengan keris. Cuma, bila ini dihubungkan
dengan hak asasi manusia, tentu ada sedikit benturan. Sebab, ada keganjilan:
manusia kok dikawinkan dengan simbol-simbol agama tertentu. Adapun aturan yang
berlaku pada kalangan warga Hindu di Bali menentukan bahwa seorang anak
dianggap sah kelahirannya secara adat, terlebih dari sudut agama Hindu, jika
orangtuanya telah melalui prosesi perkawinan. Di sinilah para cendekiawan Hindu
ke depan perlu memikirkan lebih seksama lagi perihal hak seorang ibu untuk
memelihara anaknya, sebagai orangtua seutuhnya. Selanjutnya, pertanyaan Saudara
keempat, memiliki keterkaitan dengan pertanyaan kedua. Proses yang harus dilalui,
yakni dengan upacara sudhiwadani, dan upacarai anak bersangkutan layaknya orang
Hindu dari semenjak lahir hingga dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar