Sabtu, 24 Oktober 2015

AJIAN BUDHAYANA DAN PURA KENTEL GUMI



Pura Agung Kentel Gumi "Tri Guna Pura" dengan Fungsi "Penyegjeg Jagat"
PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).

Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.

Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.

Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.

Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.

Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.

Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.

Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.

Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460. bali putra.

Pura Agung Kentel Gumi, Klungkung
Pura Agung Kentel Gumi, Klungkung
Tempat Memohon Kerahayuan Jagat
Pura Agung Kentel Gumi sebagai salah satu Triguna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, memiliki beberapa kelompok pura. Pura yang sedang direhab dan berjarak sekitar 43 km dari kota Denpasar ini, terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Apa saja yang bisa disimak dari keberadaan pura yang merupakan tempat nunas kerahayuan jagat serta kental dengan makna simbolik ini? Bagaimana kelak tampilan arsitekturalnya setelah dilakukan pemugaran?
Pada dasarnya, pura merupakan simbol gunung atau alam semesta, tempat suci untuk menghubungkan diri dan memuja kebesaran Hyang Maha Pencipta dengan berbagai prabhawa-Nya. Di sini, Pura Agung Kentel Gumi berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasi-Nya selaku Sang Hyang Reka Bhuwana (pencipta alam semesta).
Berdasarkan lontar "Raja Purana Batur", Pura Agung Kentel Gumi merupakan salah satu dari Tri Guna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, yakni sebagai Pura Puseh Bali, tempat mohon kedegdegan dan kerahayuan jagat. Sementara Pura Batur sebagai Pura Desa-nya, tempat mohon kesuburan, dan Pura Agung Besakih sebagai Pura Dalem-nya, tempat memohon kesucian sekala-niskala. Jadi, Pura Agung Kentel Gumi juga menjadi bagian amat penting sebagai Pura Kahyangan Jagat yang di-sungsung seluruh umat Hindu.
Konon dulu, diawali tancapan sebuah tiang dari Mpu Kuturan, sebagai pacek atau pasak, menjadikan suatu tempat menjadi pancer jagat atau dasar bumi pemberi keajegan gumi Bali yang sebelumnya sering gonjang ganjing oleh kerusuhan di dalam kehidupan masyarakatnya. Dari keadaan yang kembali pulih itulah konon nama Kentel Gumi bermula. Kentel artinya kental atau padat, memiliki makna "akrab", sedangkan gumi berarti bumi, dunia atau tanah.
Kira-kira, Kentel Gumi bermakna "terwujudnya persatuan dan kesatuan yang kental dengan suasana keakraban dan kedamaian hidup di bumi". Atau memiliki makna simbolik: penegakan kembali eksistensi spiritualitas pulau Bali oleh Mpu Kuturan yang luluh lantak sebelumnya akibat kekuasaan Raja Maya Denawa yang memerintah pada 962 M-975 M. Mpu Kuturan berhasil menertibkan dan menegakkan kembali kemasyarakatan penduduk Bali yang sebelumnya dihancurkan oleh pemberontakan Maya Denawa.
Tiga Kelompok
Pura Agung Kentel Gumi yang memiliki luas areal sekitar 50-an are ini pada dasarnya merupakan sebuah kompleks pura. Memiliki tiga kelompok: (1) Pura Agung Kentel Gumi, di dalamnya terdapat sekitar 19 bangunan suci (palinggih); (2) Pura Maspahit dengan lima palinggih; (3) Pura Masceti yang memiliki tujuh palinggih. Ketiga kelompok pura ini terdapat di area jeroan atau hulu pura (utama mandala), yang hanya dibatasi panyengker pura satu sama lain.
Di sebelah barat dari ketiga kelompok pura tadi terdapat Perantenan Suci, Bale Paebatan (berbatasan dengan jaba tengah), dan Pura Bale Agung (berbatasan dengan jaba sisi). Lantas, bagaimana dengan bangunan meru yang terdapat di jeroan Pura Agung Kentel Gumi ? Bagian pura mana direnovasi atau direstorasi? Adakah pergeseran atau penambahan palinggih atau bangunan pelengkap yang baru?
Meru perlambang Gunung Mahameru, stana Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari leluhur berdasarkan lontar-lontar "Jaya Purana", "Wariga Catur Winasa Sari", "Kesuma Dewa", "Widhi Sastra", dan "Purana Dewa". Landasan filosofis meru berlatar belakang kepercayaan terhadap gunung yang disucikan, stana para dewa dan roh leluhur. Untuk kepentingan pemujaan, gunung suci itu disimbolkan dengan replikasi wujud bangunan meru. Di pura ini, meru tumpang 11 (sebelas) merupakan stana Batara Sakti. Meru tumpang 9 sebagai linggih Batara Mahadewa, tumpang 7 stana Batara Segara, tumpang 5 linggih Batara di Batur, dan tumpang 3 stana Batara Ulun Danu.
Punya Keyakinan
Kendati tak jelas kapan Pura Agung Kentel Gumi mulai dibangun, namun menyitir suratan "Babad Bendesa Mas", pura ini dibangun oleh Mpu Kuturan. Itupun -- konon -- setelah mengalami pemugaran, karena disebutkan beberapa palinggih sudah ada sebelum Mpu Kuturan datang. Sementara Raja yang memerintah (pada saat Mpu Kuturan tiba dan membangun Pura Agung Kentel Gumi ) adalah pada masa pemerintahan Raja Sri Kresna Kepakisan yang memerintah Bali pada 1350 Masehi, setelah Maha Patih Gajah Mada berhasil menaklukkan kekuasaan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Saat kekuasaan Raja Sri Kresna Kepakisan (di abad ke-14) itulah keadaan raja, rakyat dan alam benar-benar stabil, manakala perhatian difokuskan pada pembangunan dan pengembangan Pura Agung Kentel Gumi .
Tuhan pada awal penciptaannya mewujudkan semesta secara seimbang sebelum manusia ikut ambil bagian mencemari dan merusak alam. Upaya manusia dan generasi penerusnya adalah selain untuk senantiasa menjaga kerukunan hidup bermasyarakat juga kelestarian alam semesta. Pada-Nya setiap orang patut wajib melakukan doa persembahan atau meningkatkan denyut spiritualitas pada Hyang Pencipta, agar setiap insan senantiasa meningkatkan kebaikan perilakunya. Tuhan dipuja juga sebagai pemberi stabilitas dalam arti luas.
Jadi, sejumlah palinggih yang dibuat boleh dikata sebagai tempat stana Tuhan dengan segala manifestasi-Nya yang dibuat sesuai lontar "Asta Dewa" dan "Asta Kosala-Kosali". Di sisi lain, sebagai penghormatan spiritual terhadap Mpu Kuturan, dibangun palinggih Manjangan Saluang. Ada pula palinggih yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Batara Brahma, disebut palinggih Catur Muka. Tempat pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa (stana Mpu Tri Bhuwana), dinamakan palinggih Sanggar Agung Rong Telu, selain ada beraneka palinggih lain yang disebut pasimpangan.
* n.g. suardana

Pura Kentel Gumi

Pura Kentel Gumi
Lokasi Semedi Mpu Kuturan
SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.

Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.


Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.

Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.
Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.
Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.

Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.


Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.


Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.
bali putra
Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.
Membangun Enam Perilaku
di Pura Kentel Gumi

Satyam brhad rtam nram diksa tapa brahma yadnya pertivim dharyante
(Atharvaveda, XII, 1.1).
Maksudnya :
Ada enam langkah yang harus dilakukan untuk mendukung ibu bumi ini yaitu Satya (kebenaran Veda), Rta (hukum alam) Diksa (penyucian), Tapa (pengendalian diri), Brahma (berdoa) dan Yadnya (pengorbanan suci).
PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (
Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.

Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.


Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang balk dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung.
Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.
Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.
Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.
Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.
Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.
Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.
Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.
Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.

Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat
raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.

Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga
yadnya.
Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul. I Ketut Gobyah
Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.
Pura Agung Kentel Gumi
"Tri Guna Pura" dengan Fungsi "Penyegjeg Jagat"
PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).
Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.

Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.

Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.
Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.

Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/
parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460. bali putra.

Pura Kentel Gumi

Pura Kentel Gumi
Lokasi Semedi Mpu Kuturan
SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.

Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.


Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.

Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.
Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.
Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.

Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.


Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.


Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.
bali putra
Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.
Membangun Enam Perilaku
di Pura Kentel Gumi

Satyam brhad rtam nram diksa tapa brahma yadnya pertivim dharyante
(Atharvaveda, XII, 1.1).
Maksudnya :
Ada enam langkah yang harus dilakukan untuk mendukung ibu bumi ini yaitu Satya (kebenaran Veda), Rta (hukum alam) Diksa (penyucian), Tapa (pengendalian diri), Brahma (berdoa) dan Yadnya (pengorbanan suci).
PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (
Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.

Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.


Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang balk dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung.
Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.
Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.
Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.
Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.
Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.
Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.
Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.
Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.

Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat
raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.

Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga
yadnya.
Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul. I Ketut Gobyah
Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.
Pura Agung Kentel Gumi
"Tri Guna Pura" dengan Fungsi "Penyegjeg Jagat"
PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).
Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.

Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.

Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.
Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.

Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/
parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460. bali putra.

Jinarthi Prakreti

JINARTHI PRAKRTI


Om Awighnam asthu!

Nahan laksana sang tathagata mahayana pwa yan kawruhi
Purneng rupa sacihna sang wiku huwus mandel haneng jro hati
Mundi goduwa len ganitri paragi mwang sambarasryaputih
Mwang tekang katiwandha yogapata sakweh ning sinangguh krama.(1)

Nahan mundi ngaranya sang makamanah dharmaswabhawahening
Suddha prakrti nisprapancamaya sunya jnana nirsanggraha
Nirsambodhana nirwikalpakamayalilang mahasaswata
Mundi pwaiki ngaranya nitya maparas murdhang lengis nityasa.(2)

Jnana wruh mangiring pasuk wetu nikang pranadi buddhyatsaha
Mwang wruh rider ikang sarira mahili mendran lana cakrawat
Ndah nityanghanaken prawesa makadon prityang prajamandala
Nahan teki ganitri tan pasalahan de sang mahapandita.(3)

Nirbyapara nikang manah ya ta maweh prityang nikang rat kabeh
Mwang sang dewa sireki mukhya ginawe tusta niran langgenga
Mwang sang rsi sireka langgenga siwin mangde sukha ning praja
Yeka goduwa tan kasah ri sira sang mahyun tumemwang taya.(4)

Buddhi lwir rawiteja lumra sumeno ring sarwatatwagama
Otsahana rajah tamah pada geseng sakweh nikang sadripu
Artha mwang kama sabda len dasamahabhayalahawreg hilang
Nahan tang paragi prasiddha tininget de sang masadya hayu.(5)


Jnana lwir hening ing langit kinatayan dening hima mwang limut
Wruh ring sarwawisesatatwa nguniweh ring buddhamargottama
Tingkah sri jina ring sarira kahidep dewi niran sakrama
Yeka sambara tan wenang winasehan tan bhasmi dening panas.(6)

Jnana wruh humidep ri sunyata nikang sarwatatwa dharmatmaka
Sthiraningseti tunggal ing sakalatatwa mwang sarirakrama
Mwang pancendriya buddhi tan pamisaya tan kapusan byapara
Nahan tang katiwandha ring paramatatwa ndan ginuhyeng manah.(7)

Prajna wruh ring awesa guhya atiyoga mwang hidep wiryawan
Salwir neng surapuja yeka kahidep nang dewaharakrama
Sarwopakriya sarwadesana telas tang mantra tantra stuti
Yeka yogapata prasiddha kumawitan wetwa ning durnaya.(8)

Jnanotsaha taman pegat mulahaken puja stuti sri jina
Suptadikriya tan katalyan iniwo nangken trisadhyatutur
Mangganghela tan artha karya magawe dharma trikayottama
Yekangken kaharan sawit ri sira sang pandyahyun ing sunyata.(9)

Pujanta sthiti sarwalaksana ya puja sing sasolah bhawa
Salwir ning wacanamanis parahitangken mantra nityasthiti
Sing cittanta japaprayoga magalar bayu triratna traya
Sing karyanta ya yogakarana ri siddha ning kayogiswaran.(10)

Silantaginaking mulat ya tika kembang tan malum nityasa
Sing sojarta kapanditan mijil arum gandha wanginyan sumar
Wruhteng tatwawisesa buddha ya tika wijanta nityagelar
Jnanahning humideng maya kadi minak yeka niwedyahalep.(11)



Nahan hetu ni sang wuwus wruh irikang dwimatratatwalicin
Byakta tinghala tatwa sakrama nikang tantrenusir sang wiku
Anghing jnanawisesa buddha kahidep tan dura tan sangsaya
Ndan samangkana tan sapeksa ri ulah lwir bhranta ring laksana.(12)

Wwanten teka gegon bratangkenan ikang de sang makinkin hayu
Nang satparamita prakasita gegon tang dana ring purwaka
Len tang sil muwah ta santi saha wirya dhyana len kawruhi
Prajnantyanya ya teka kawruhi nihan tang dana tingkah nika.(13)

Ambek nitya leba ring artha nguniweh yan twak sekul bhojana
Lawan stri tuwi putra putri yadiyan tawehaken ring maton
Rah len mangsa atinta soca yadiyan kawehaken ning maton
Nahan teka ya danaparamita yekin tambayan kawruhi.(14)

Raksekang jinasasana krama nikang siksa tata gegwani
Tan byapara tikang trikaya ring ulah yan ton sukha ning para
Nang pranatipatiwiratyadi ya teka dohaken purwaka
Nahan kawruhi silaparamita manggeh wwang tumengwang hayu.(15)

Ambek lwir madhu sinyukan madhu sedeng ning wwang maweh duhkhita
Tan molah humideng wisuddha mahening himper wiyat nirghana
Aptyaweha sekheng manah lara kedeh mahyun sukha ning manah
Santiparamita pwa nama nikahen yekan gego nityasa.(16)

Tan warsih nikanang trikaya pagawe karmahajeng nityasa
Yapwan ring rahineng sinapwan angaji mwang lot mamujanulis
Yan ring ratri majagra yoga japa lawan dhyana puja sthuti
Wiryaparamita ki kawruhi mahamargangusir sunyata.(17)



Jnananunggalaken sarira kalawan sing sarwasattwatmaka
Dehangkwajana sarwasatwa marika dehangku satwatmaka
Nahan hetu ni sih niraksama rika satwadikadhah tuwi
Yeka dhyana ngaranya paramita teki swargamargapageh.(18)

Jnana wruh ri atinta len anagata mwang wartamanakrama
Mwang ring sarwawisesatatwa samaya mwang sarwasastragama
Wahdyadhyatma wisesayoga sakala mwang dikwidikdewata
Prajnaparamita kramanya ta gegoh manggeh wekas ning brata.(19)

Nang satparamiteka purwaka gegontan mahyun ing sunyata
Byaktasih pwa bhatara buddha ri sira sampun kacittagraha
Apan mula wisesatantra wekas eng tattwenucap sang wiku
Jnanadwaya wisesatatwa nikihen dewi mahakarana.(20)

Wwanten paramita kramanya acatur brahmaviharapageh
Metri mwang karunadulur mudita len tekang upeksangiring
Nang satparamitapupul pwa yan lawan brahmawiharatemu
Yeka paramita prasiddha dasa saksat karuneng sri jina.(21)

Nahan metri ngaranya buddhi gumawe kahaywan ing rat kabeh
Lawan tang karuna pwa buddhi malaranon wwang mahaduhkhita
Len tekang mudita pwa buddhi sukha yan ton tusta ning wwang waneh
Ambek suddha parartha tan phala katonnyopeksa ling sang wiku.(22)

Lawan ta haywa malupeng bhuwanang sarira
Abdhi mwang adri paramottamadehatatwa
Manggeh pangasrayana ning mangusir kamoksan
Apan tika pwa maparek saki pada sanghyang.(23)

Nahan ta tingkah ing awak jaladhi kramanya
Raganta tan patepi yeka banunya majro
Dwesanta meweh ika teka karangnya durga
Mohanta wibhrama sumek ya tikombakagong.(24)

Dambhanta tan pahamengan kruramina rodra
Irsyanta sarwawisa sarpa wisesa mandi
Matsarya yeka talatekna suket maheweh
Lawan tikang trimala yeka harusnya madres.(25)

Lawan rajah tamah ika tang alusnya nitya
Krodhanta yeka ya riwut mariwung hanginya
Pancendriyangkena hudanya barat halisyus
Jnananta mudha rasa ning banu tikta lumra.(26)

Jnananta dhira ya ta panghilangan maheweh
Prajnanta yeka matemah ksirasagaralwa
Tekan puter ta ya ring adri mahawisesa
Nang linggacetya himawan ndin amandalani.(27)

Yeka ganitri ya ta sarwajinan patingkah
Nangken watek hyang amuter tikang adrilingga
Nang sutra yeki paramottamabuddhisattwa
Kangkenya naga pamuter nikanang watek hyang.(28)

Enak pwa denta mamuter nikanang watek hyang
Wijnana paramita teki wilangnya sunya
Hyang sri ya tanggalaniran rumuhun ta welkah
Kangken ta pawakaning amrta meh katemwa.(29)



Enak pwa nirwisaya ning ksiracitta sunya
Bayu triratna humeneng sthiti ekatana
Yeka ta darsana bhatara wisesabuddha
Maya prabhaswara sira nirakaradeha.(30)

Saksat sireka ta mahamrta suddha suci
Ndah yeka tang pana sirerika sari-sari
Byakta luput sira sakeng maranatiwrddha
Byakta kang astaguna tan sah awas panutnya.(31)

Nahan ta tingkah ika angga samudratatwa
Tingkah nikang tanu mahendra nihan kramanya
Ndan utamangga hata srngga ning anggaparswa
Padanta pada nikang adri sariratatwa.(32)

Sadwarga durgama suketnya jurangnya majro
Mong singha barwang ikanang trimalatirodra
Dursilatrsna paranganyan asarpa mandi.
Mwang tang rajah tamah udanya gelap halisyus.(33)

Kyeka pangasrayana ning mangusir kasiddhan
Bentar babad suket ikang ati ring kadhiran
Wruhteng mahaparamatatwa wadung atiksna
Wijnana dharma tarukan pagagan ta donya.(34)

Ndah yeka tunwani tayeng smrti suryatiksna
Byaktageseng sahana ning suket ing sarira
Sampun pwa nirmala geseng geleh ing swacitta
Manggeh tayan wuluku ring brata puja mantra.(35)

Sampun pwa tandurana yoga lawan samadhi
Rangkata yeng kusa lawula ni sila yukti
Jnanahening ya mangeno diwasantacandra
Byakta jinasmrti tuwuh nika saswatanggong.(36)

Byakta phala pwa ri katonta bhatara buddha
Manggeh sireka pangaranta pakopajiwan
Enak pwa denta masamuha lawan bhatara
Siddheka siddha kaharan tekan ing kamoksan.(37)

Irika ta karananyaya ndan ta wruhi rumuhun
Nihan iki phala manggeh nahan kawruhi wekasan
Krama ni tanu bhatara hyang buddhanghibeki sarat
Aganal alit anuksmasteswaryeccha nira sukha.(38)

Kunang iking inucap don nirdon ta mucapa rika
Apan ika teka poh ning karya mwang karana pinet
Nirawarana nikin ton lwir jnana niralaya
Aparek ika sakeng sri sarwajna saha mawekas.(39)

Jinarthiprakrti pralambang kamahayanin.


Komentar
Masuk|Laporkan Penyalahgunaan|Cetak Laman|Diberdayakan oleh Google Sites

Sang Hyang Kamahayanikan

Sang Hyang Kamahayanikan
|| namo buddhāya ||
nihan kalingan ing o ah hu, yan pinakapangashiṣṭhāna umajarakan as bhaāra tryakara sira paramārtha kāya wāk citta bajra ngaran ira||
EHI VATSA MAHĀYĀNA MANTRACĀRYANAYA VIDHI
DEŚAYIYĀMI TE SAMYAK BHĀJANAS TVA MAHĀNAYE||
ka: sang hyang mahāyāna iki warahakna mami iri kita, MANTRACĀRYYANAYA VIDHI, sang hyang mantranaya sira mahāyāna mahāmargga nngaranira, DEŚAYIYĀMI TE [a9] SAMYAK, sira teki deśanākna mami warahakna mami ri kita, BHĀJANAS TVA MAHĀNAYE, ri kadadinyan kita pātrabhūta yogya warahĕn ri sang hyang dharmma mantranaya||
ATĪTĀ YE HI SAMBHUDDHĀ TATHĀ CAIVĀPY ANĀGATĀ
PRATYUTPANNĀŚ CA YE NĀTHĀ TIṢṬHANTI CA JAGADDHITĀ||
ka: bhaāra hyang buddha sang atīta, sa(ng) mangabhisabuddha ngūni ring āsitkāla, kadyanggān: bhaāra wipaśyī, wiśwabhū, krakucchanda, kanakamuni, kāśyapa, atītabuddha, ngaran ira kabeh|| TATHĀ CAIVĀPY ANĀGATĀ, kunang bhaāra buddha sang anāgata, sang abhimukha mangabhisabuddha, kadyanggān; bhaāra āryya maitreyādi, samantaibhadra paryyanta, anāgatabuddha ngaranira kabeh [b9] PRATYUTPANNĀŚ CA YE NĀTHĀ, tumamwa bhaāra śrī śākyamuni, wartamānabuddha ngaranira, sira ta pinakahyang buddhanta mangke, śāsana nira ikeng tinūt atinta|| TIṢṬHANTI CA JAGADDHITĀ, tamolah ta sira kumingking hitasuka ning sarbwasatwa, umangĕnangĕna kalĕpasan ikang rāt kabeh sakaring sangsāra, duwĕg kumirakira paaman ing mahāpralaya rike bhuwana||
TAIŚCA SARBVAIR IMA BHAJRA JÑĀTVĀ MANTRAVIDHIM PARA
PRĀPTA SARBVAJÑATĀ VĪRAI BODHIMŪLE HY ALAKAA||
ka: sira katiga bhaāra hyang buddha ngaran ira, sang atītānāgatawartamāna, tan hana mārgga nira waneh ar tinamwakan ikang kahyang buddham|| JÑĀTVĀ MANTRAVIDHIM PARA, iking mahāyana mahāmārgga ya tinūtakĕn ira, pinakamārgga nira ar atang rikana nibāanagara|| [a10] PRĀPTĀ SARBVAJÑATĀ VĪRAI BODHIMŪLE HY ALAKAA, inak ni deni gumĕgö ikang mantrānaya, ya ta matang yar tĕmwakan kasarbwajñān, ya ta hetu nirār pangguhakan ikang kahyang buddhān ring bodhimūla||
MANTRAPRAYOGAM ATULA YENA BHAGNA MAHĀVALA
MĀRASAINYAM MAHĀGHORA ŚĀKYASIHENA TĀYINĀ||
ka: bhaāra śrī ñākyamuni matang yar tĕmwakan [n] ikang kamārawijayan, sakweh nikanang mārawighna alah de nira: kleśamāra, skandhamāra, mtyumāra, dewaputramāra, alah anguyuk ikā kabeh de bhaāra hetu nirār wĕnang umalahakĕn ikang māra, ābhānubhāwa prabhāwa sang hyang samādhi śakti sang hyang mantranaya inabhyāsa||
TASMĀN MATIM IMĀ VĀRTTĀ KURU SARBVAJÑATĀPTAYE
[b10] ŚṚṆU BHADRĀŚAYAN NITYA SAMYAK SAHTYA KALPANĀ||
ka: matangyan deyanta KURU SARBVAJÑĀTĀPTAYE, haywa tālangalang angĕnangĕnta rike sang hyang mantrānaya, pahapagĕh denta gumĕgö sang hyang mantrānaya, matang yan kapangguha ikang kasarbwatān denta; GṚṆABHADRĀŚAYAN NITYA, pahawās denta rumĕngö iki warawarah mami ri kita, haywa wān, yatna wuwus mami|| SAMYAK SAHTYA KALPANĀ, karyyakan tang buddhi sawikalpaka, hilangakan tang āmbĕk abhiniweśa, pahenak tāngĕnangĕnta, haywa sangśaya||
EA MĀRGGA VARA ŚRĪMĀN MAHĀYĀNA MAHODAYA
YENA YŪYA GAMIYANTO BHAVIYATHA TATHĀGATĀ||
ka: sang hyang mahāyāna mahāmārgga iki pintonakna mami ri kita, pahawās denta mangrĕngö, MAHĀYĀNA MAHODAYA, [a11] yeki (h)awan abĕnĕr tĕka ri swarggāpawargga, wĕnang umehakĕn [u]ikang kamahodayān|| MAHODAYA, nga, ikang wāhyādhyātmikasuka, ikang kaśreṣṭyan, kasugihan, kapamĕgĕtan, karatun, kacakrawartin|| ādhyātmikasuka, nga, ikeng lokottarasuka inak tan pawor duhkha, ajarāmaraa, tan katĕkan tuha lara pati, nāng anuttara wara samyaksabodhisuka, ikang mokasuka, ikā tang wāhyasuka mwang ādhyātmikasuka, ya ikā kamahodayan nga, anung dinadyakĕn [n]ikeng mahāyāna mahāmārgga, yan inabhyāsa|| YENA YŪYA GAMIYANTO, apan ri sĕangnyan apagĕha denta gumĕgö ikeng kamahāyānan; BHAVIYATHA TATHĀ[b11]GATĀ, niyata kita tumamwakna ng kahyangbuddhān|| sumākāt kta ikang kalĕpasĕn, ikānang dwayasambhāra, nāng jñānasambhāra, puyasambhāra kapangguha ikā denta||
SVAYAMBHUVO MAHĀBHĀGĀ SARBVALOKASYA YAJÑIYĀ
ASTINĀSTIBYATIKRĀNTA ĀKĀŚAM IVA NIRMMALA||
ka: kadyanggāning ākāśa annirmala swabhāwa, alakaa, awastuka, tan kawĕnang tinuduh, tan agöng, tan aĕmit, tan hirĕng, tan putih, byāpaka lumrā ring daśadeśa, mangkana lwir nira||
GAMBHĪRA ATIGAMBHĪRAM APY ATARKYAMANĀVILA
SARBVAPRAPAÑCARAHITA PRAPAÑCEBHI PRAPAÑCITA||
ka: wora mahāgambhīra lena sangka rike sang hyang mahāyāna mahāmārgga sireki GAMBHĪRĀTIGAMBHĪRA: [a12] adalĕm sakeng adalĕm; APY ATARKYA: tan kawĕnang tinarkka, salah yan inuha; ANĀVILA, tar padoa; SARBVAPRAPAÑCARAHITA; tan katĕkan dening sarbwaprapañca, mwang kleśopakleśa, nāng: mada, dambha, lobha, moha, rajah, tamah, tan tama ikā kabeh ri sira, tuhu karikā tan pakawakang mangkana tahāwih, PRAPAÑCEBHI PRAPAÑCITA, āpan ikang rāga, dwea, moha prapañca pinakāwak nira||
KARMMAKRIYĀVIRAHITA SATYADVAYĀ ANĀŚRAYA
IDAM YĀNAVARA ŚREṢṬA ABHYASYATA NAYE STHITĀ||
ka: tan gawe tan sima gawai, [tan sima gawai] pinakāwak nira|| SATYADVAYA: tamolah makarūpa ikang satyadwaya, nga, sawtisatya, paramārthasatya, anung pinakarūpa nira|| [b12] ANĀŚRAYA: tanpāndĕlan tan samwtisatya tan paramārthasatya kahanan ira, IDA YĀNAVARA ŚREṢṬA, yekā sinangguh mahāyāna mahāmārgga nga, manĕkakĕn irika ng swarggāpawargga|| ABHYASYATA NAYE STHITĀ, ya tikābhyasanta sārisāri mĕne ng hĕlĕm sang hyang mantrānaya mahāyāna||
O! BAJRODAKA O A HU! iki śapatha hdaya||
IDAN TE NĀRAKAM VĀRI SAMAYĀTIKRAMO VAHET
SAMAYARAKANĀT SIDDHYE SIDDHA BAJRĀMTODAKA||
ka: wehana kita manah|| apa bajrodaka? ikang bajrodaka tan wway samanya, wwai sakeng naraka ikā; SAMAYĀTIKRAMO VAHET, mārgga ning duka kapangguha, bhraṣṭa [a13] sakulagotrawaudhawa, ya tat pituhwa samaya|| kālanyat bhāryabhārya rikeng sang hyang bajrajñāna, SAMAYARAKANĀt SIDDHYE, kunang ri sĕangnyat prayatna, tan pangraparapā ring samaya, mārgga ning hayu kasiddhyan kapangguha denta SIDDHA BAJRĀNTODAKA, sangkepanya: wiāmta ikeng bajrodaka, wwah sahingga tinika, pilih suka pilih duka kapangguha|| yat pramāda kita pamangguh duka, kunang yat prayatna, awās ikang suka hayu kasiddhyan kapangguha usĕn, ngūniweh dlāha||
BAJRA GHAṆṬĀÑ CA MUDRĀÑ CA TAN NĀMAṆḌALINO VADET
HASED VĀŚRADDHAVĀN EVA JANA SAGAIKĀSTHITA||
ka: haywa kita umaramarahakĕn ika sang hyang bajra ghaṇṭā mudrā ring wwang adṛṣṭa maṇḍala, tapwan sāmayika rahasyan [b13] kubdan atah sira, tan awarawiryyakna irikang wwang tapwan ktopadeśa, HASED VĀŚRADDHAVĀN EVA, athawi guyuguyunta kunang si tan pituhun artha nira, tan āmbĕkta tĕmĕn tumarima brata bhaāra, haywa ta mangkana, yāwat (t)ang wwang apahasa ri sang hyang mārgga, JANA SAGANIKĀSTHITA, awās ikang wwang mangkana, kasangsāra sadākāla, matangnyan haywa tan tulus adhimukti rike sang hyang bajrajñāna, kayatnaknātah sang hyang samaya||
AYAN TE SAMAYO BAJRI BAJRASATVA ITI SMTA
ĀVEŚAYATU TENAIVA BAJRAJÑĀNAM ANUTTARA||
ka: sang hyang samaya ta sira sinangguh bhaāra bajrasatwa; ĀVEŚAYATU TENAIVA BAJRAJÑĀNAM ANUTTARA, sira teki pinakahdayanta mangke, bajrajñāna ikang pinaka[a14]hdayanta, pahenak tāmbĕkta||
O BAJRASATVA SVAYAN TE ’DYA CAKŪDGHĀANATATPARA
UDGHĀAYATI SARBVAKO BAJRACAKUR ANUTTARAM||
ka: bhaāra śrī bajrasatwa muwah hana ri matanta mangke, CAKŪDGHĀANATATPARA, denira dumlingakna panonta, matangnya pahabungah tāmbĕkta, UDGHĀAYATI SARBAKO BAJRACAKUR ANUTTARA, dĕlingakanta matanta, pahawās ta panonta ri sang hyang maṇḍala||
IDAÑ CA MAṆḌALAM PAŚYA ŚRADDHĀÑ JANAYATHĀDHUNĀ
KULE JĀTO ’SI BUDDHĀNĀ SARBVAMANTRAIR ADHIṢṬHITA||
ka: wulat i sang hyang maṇḍala, ŚRADDHĀÑ JANAYATHĀDHUNĀ, gawayakĕn tang śddha, haywa tan sagorawa ri sang hyang maṇḍala, ngūĕ JĀTO ’SI BUDDHĀNĀ, apan kita [b14] buddhakula mangke, apan bhaāra hyang buddha ngaranta mĕne, SARBVAMANTRAIR ADHIṢṬHITA, tuwi sampun ktādhiṣṭhāna iki de sang sarbwatathāgata, inajyan sinangskāra rikang sarbwamantra||
SAMPADO ’BHIMUKHĀ SARBVĀ SIDDHAYOGATAYAŚCATE
PĀLAYA SAMAYA SIDDHYAI MANTREŪDYOGAVĀN BHAVA|
ka: aparĕk tekang hayu ri kita, SIDDHAYOGA TAYAŚCATE, samangkana ikang kasiddhyan abhimuka ikā kabeh, agya kapangguha denta; PĀLAYA SAMAYA SIDDHYE, lĕkas ta umabhyāsa sang hyang samaya, marapwan katĕmu ikang kasiddhyan usĕn denta; MANTREŪDYOGAVĀN BHAVA, gawayakan tang utsāha ri mantra japa pūjā usĕn, haywa hĕlĕmhĕlĕm, yathānyan kopalambha ikang kasugatin irikeng ihajanma ngūniweh dlāha||
[a15] I O BAJRANETRĀYA, HARAHARA PAALA HDI
AJÑĀNAPAALA VATSA PUNA HI JINAIS TAVA
ŚALĀKAIR VAIDYARĀJENDRAI YATHĀLOKASYA TAIMIRA||
kalinganya: pahenak tāmbĕkta, huwus hilang ikang ajñānapaala ri hatinta, binabadan de bhaāra śrī bajradhara ŚALAKAIR VAIDYARĀJENDRAI YATHĀLOKASYA TAIMIRA, kadyanggān [n]ikanang wwang lara matan putikĕn, ramun matanya tinamwan ta ya de sang wedya cinĕlĕkan matanya, waras tĕkā matanya hĕning, menak panonya wĕkasan ri hilang nikang kawakamalādyupadrawanya, mangkana teking ajñānapaalanta an hilang tutas, tan paśea sampun bina[b15]badan de bhaāra, matangyar pahenak ta angĕnangĕnta, haywa sangśaya||
PRATIVIMVASAMĀ DHARMMĀ ACCĀ ŚUDDHĀ HY ANĀVILĀ
AGRĀHYĀ ABHILAPYĀŚ CA HETUKARMASAMUDBHAVĀ||
ka: pahawās denta umulati ikang sarbwadharmma, tan hana pahinya lāwan māyā ring darpaa ryy awakta wās ākārarūpa nikanang māyā ring darpaa, nda tan kawĕnang ginamĕl, apan tan hana tatwanya; mangkana teking sarbwabhāwa, ngūniweh janmamanua hetuka karmma dumadyakĕn ike, matangnya kadi katon mātramātra, kintu tan hana tĕmĕntĕmĕn||
EVA JÑĀTVĀ IMĀN DHARMĀN NISSVABHĀVĀN SVANĀVILĀN
KURU SATVĀRTHAM ATULA JĀTO AURASA TĀYINĀ||
ka: pahawās ta denta gumĕgö māyopama ni sarbwa[a16]dharmma; NISSVABHĀVĀN NĀNĀVILĀN, haywa ta punggung an nisswabhāwa iking sarbwabhāwa; KURU SATVĀRTHAM ATULA, gawayakan tang kaparārthan usĕn, JĀTO AURASA TĀYINĀ, apan kita mangke JINORASA ngaranta: anak bhaāra hyang buddha, matangnyan haywa ta tan sarambhakāta ring kuśalakarmma, mwang angingking parārtha||
BAJRASATVA PRAKTYAIVA ACCĀŚUDDHA ANĀVILA
HDI TIṢṬHATI TE VATSA SARBVABUDDHĀDHIPA SVAYA||
ka: pahenak tāngĕnangĕnta, bhaāra bajrasatwa mingasthūla sira ri hatinta, bhaāra bajrasatwa Garan[n]ira; ACCĀŚUDDHA HY ANĀVILA, śuddha swabhāwa sira, tan hana rāga, dwea, moha ri sira, tuwi ta pinakapradhāna sang sarbwatathāgata sira, pinakahatinta sira mangke, mārgganing puya|| [b16] jñānasambhāra kapangguha denta don ira hana, haywa ta sandeha||
ADYAPRABHTI LOKASYA CAKRA VARTAYA TĀYINĀ
SARNVATRA PŪRYYA VIMALA DHARMMAŚAKHAM ANUTTARA||
ka: mĕne tamwayanta CAKRA VARTAYA TĀYINĀ, umindĕrakan dharmmacakra bhaāra śrī bhajradhara rikang sarbwasatwa; SARBVATRA PŪRYYA VIMALA DHARMMAŚAKHAM ANUTTARA, kunang deyanta hibĕki lyābi pĕnuhi teki daśadig anantaparyyanta sakala lokadhātu, kapwa hibĕkan an ta dharmmaśangka ikā kabeh||
NA TE ’TRA VIMATI KĀRYYĀNIRVIŚAKENA CETASĀ
PRAKĀŚAYA MAHĀTULA MANTRACĀRYYANAYAM PARA||
ka: haywa kita wicikitsa, NIRVISAKENA CETASĀ, ikang nissandeha atah ambĕk[ka]nta, PRAKĀSAYA MAHĀTULA [a17] MANTRACĀRYYANAYAM PARA, at pintonakna ike, sang hyang mantranaya mahāyāna||
EVA KTAJÑO BUDDHĀNĀ UPAKĀRĪTI GĪYATE
TE CA BAJRADHARĀ SARBVE RAKANTI TAVA SARBVAŚA||
ka: apan ikang wwang kadi kita huwus ktasangskāra ri bhaāra, gumawe pūjā wiśea ri bhaāra hyang buddha, UPAKĀRĪTI GĪYATE, ya ikā sinanggah sampun maweh upakāri, bhaāra ngaran ikang wwang mangkana, TE CA BAJRADHARĀ SARBVE RAKANTI TAVA SARBVAŚA, kopakarān pwa sira denta, rĕa tĕmbĕk nira, ya ta matangnya yatna rumaka kita ri rahina wĕngi, sakwanta saparanta sagawenta, at kita kinayatnakĕn de nira ri wrūh nira an sampun kopakāran [b17] denta, ya matangnya haywa wiwikitsa, apan hana bhaāra śrī bajrasatwa pinakaatma rakanta sira||
NĀSTI KIÑCID AKARTABYA PRAJÑOPĀYENA CETASĀ
NIRVIŚAKA SADĀBHŪTVĀ PRABHUKVAKĀMAPAÑCAKAM||
ka: nora gawai anung tan ta kawĕnanga gawayan, ta yadyapin tribhuwana dukara lwiran ing karmma, tan kawĕnanga ginawe de sang hana ring swargga, manuya, pātāla, ikān mangkana atidukara [n]ikang karmma kawĕnang i taya ginawe denta; PRAJÑOPĒYENA CETASĀ, ndan ikang prajñā atah āmbĕka[kĕna]nta, NIRVIŚAKA SADĀBHŪTVĀ, lāwan tan kahilangana atah kita irika nissandehacitta sadākāla; PRABHUKVA KĀMAPAÑCAKAM, paribhogan tang pañca kāmagua [a18] denta, salwir ning kawiaya(n) haywa pinilihan paribhogan kabeh denta, āpan don (n)i kadi kita sādhaka, ndan haywa tah tan pakāmbĕk ika nissangśaya||
YATHĀ HI VINAYA PĀNTI BODHISATVĀŚ CA BHĀVATA
TATHA HI SARBVASATVARTHA KURYYĀD RĀGĀDIBHIS SUCI||
ka: kadyanggān bhaāra sikasa bo[d]dhisatwa mahāsatwā an[n]āmbĕk tĕmĕn sira gumĕgö i sang hyang mantranaya|| ambĕk tĕmĕn ngaranya: kumingkinga kaparārthān, tan kalĕpanāna de ning kleśa, tan kapalitāna de ning rāga dwea moha||
YE CĀNYESAMAYADVIṢṬĀ SAMAYBHRAṢṬĀ YE JANĀ
MĀRAĪYĀ PRAYATNENA BUDDHĀŚĀSANAPĀLANE|
ka: hana wwang dwea ri sang hya(ng) samaya, melik ri [b18] sang hyang mantrānaya; SAMAYABHRAṢṬĀ YE JANĀ, hana wwang samayabhraṣṭā wi sampun ktasamaya, manaah upadeśa|| apa kunang wiwartika ta ya wĕkasan? kinasampayan(n)ya ta sang guru, inumpĕtnya sira|| MĀRAĪYĀ PRAYATNENA, ikang wwang mangkana nāng samayadwiṣṭa mwang samayabhraṣṭa kinonakĕn ikā pĕjahana, tan patögwakna de bhaāra, BUDDHAŚĀSANAPĀLANE, yatanyan karakā śāsana bhaāra hyang buddha, lāwan katwangana sang hyang samaya, mangkana phalanyan patyana ikang samayawidweādi||
DṚṢṬA PRAVIṢṬA PARAMA RAHASYĀT KHAMA (?) MAṆḌALA
SARBVAPĀPAIR VINIRMUKTĀ BHAVANTO ’DYEVA ŚUDDHITĀ||
ka: pakenak tāmbĕkta harah, sampun prawiṣṭa maṇḍala [a19] ngaranta mangke, tumama ri sang hyang paramarahasya|| kunang deyanta pahawās wulatta rike sang hyang maṇḍala,
SARBAPĀPAIR VINIRMUKTA, kita pwa sampun tumama ri maṇḍala, winarah ri lawalawa nikang rahasya, matangnya hilanga sakweh ni pāpanta, alilanga kadi winasĕhan, hilang samūlonmūlati, BHAVANTO ’DYEVA ŚUDDHITA|| pahenak tāmbĕkta, haywa sangśaya||
NA BHŪYO RAMANAM BHOSTI YĀNĀD ASMĀT MAHĀSUKHĀT
AVṚṢYĀŚ CĀPI AVANDYĀŚ CA RAMADHVAM AKUTOBHAYĀ||
ka: kita wiwartika, YĀNĀD ASMĀT MAHĀSUKHĀT, sangka rikeng mantrabaya, hilahila wwang kadi kita wiwartika ri sang hyang mārgga, AVṚṢYĀŚ CĀPI AVANDYĀŚ CA, kunang [b19] ri sĕangnyat prayatna umabhyāsa sang hyang mantra awās ikang hayu kasiddyan kapangguha denta, tan kawĕnang inulahulah dening māra tirwikādi; RAMADHVAM AKUTOBHAYĀ, matangnya pahenak tāmbĕkta, haywa sigasigun, tulusakĕn(a) pratipattinte ri sang hyang mantra||
AYA VA SATATA RAKYA SIDDHASAMAYASAMBARA
SARBABUDDHASAMAM PROKTA ĀJÑĀ PĀRAYA ŚĀŚVATĪ||
ka: prayatna tah kita rumaka sang hyang samaya, haywa tannangti(?) kuṇḍang rahasyanatah sira denta, wruha ta kita rikang yogya warahĕn ri sang hyang samaya, haywa ta dinadhi kawwanganya, āmbĕknya, ulahnya, maryyādanya, kunang pwa yan tuhutuhu śddhānya, acchedyābhedya ri sang hyang mantra, irikā ta kita dwarahaya ri sang hyang [a20] rahasya; haywa sangśaya, haywa kundulkundul umarahakĕn ri sang hyang samaya rikāng adhimuktika satwa, SARBABUDDHASAMA PROKTA, āpan sampun kita ktānujñāta de sang sarb(w)atathāgata, inanumoda de bhaāra umintonakna sang hyang samaya, ĀJÑĀ PĀRAYA ŚĀŚVATĪ, kita ikotatibānyanujñāta bhaāra, sumiddhākna sapakon sang sarb(w)atathāgata||
BODHICITTAN TAVĀTYĀJYA YADBAJRAM ITI MUDRAYĀ
YASYOTPĀDAIKAMĀTREA BUDDHA EVA NA SAŚAYA||
ka: sang hyang boddhicitta tan tinggalakna denta; boddhicitta nga: YADBAJRAM ITI MUDRAYĀ, sang hyang bajra sira bodhicitta ngaran ira lāwan sang hyang mudrā,
YASYOTPĀDAIKAMĀTREA, den ikā kāraan sang hyang bajra lāwan [b20] mudrā, BUDDHA EVA NA SAŚAYA, hyang buddha kita dlāha, kasākāt kta ikang kalĕpasĕn denta, ri sĕangnyat prayatna ri sang hyang bajra ghaṇṭā mwang mudrā||
SADDHARMO NA PRATIKEPYA NA TYĀJYAŚ CA KADĀCANA
AJÑĀNĀD ATHA MOHĀD VĀ NA VAI VIVṚṆUYĀS TATA||
ka: tan tulaka sang hyang saddharmma, NA TYĀJYAŚ CA KADĀCANA, lāwan tan tinggalakna sira, AJÑĀNĀD ATHA MOHĀD VĀ NA VAI VIVṚṆUYĀS TATA, tan dadi wwang kadi kita umiwārae sang hyang saddharmma, sangka ring ajñāna lāwan kamohan, matangnyan haywa mangkana, larangan ikang wwang mantrānaya mahāyānānuyi, umiwāraa sang hyang sūtrānta||
SVAM ĀTMĀNAM PARITYAJYA TAPOBHIR NĀTIPĪAYET
YATHĀSUKHA SUKHAN DHĀRYYA SAMBUDDHEYAM ANĀGATA||
[a21] ka: pratiwārikāwakta, swakāyanirapekata kita, haywa tṛṣṇa ring awak, TAPOBHIR NĀTIPĪAYET, haywa pini[r]sakitan ring tapa, haywa wineh gumawayakan kawĕnangnya, YATHĀSUKHA SUKHAN DHĀRYYA, yathāsukatāh lwirantat gawayakna ng bo[d]dhimārgga, SAMBUDDHEYAM ANĀGATA, haywa gyā hyang buddha kita dlāha||
BAJRA GHAṆṬĀÑ CA MUDRAÑ CA NA SANTYAJYA KADĀCANA
ĀCĀRYYO NĀVAMANTABYA SARBVABUDDHASAMO HY ASAU||
ka: sang hyang bajra, ghaṇṭā mwang mudrā haywa kari sira denta, sakwanta, saparanta, kuṇḍanganta sira, ĀCĀRYYO NĀVAMANTABYA, lāwan ta weh tan gawayakna ng gurudrohaka, tan wĕnang ikā wwang awamāna ri ang ācāryya, matangnyan tan kāwamānana sira denta, SARBVABUDDHA[b21]SAMO HY ASAU, sarbwabuddhasama sira, paa lāwan bhaāra hyang buddha kabeh||
YAŚ CĀVAMANYED ĀCĀRYYA SARBVABUDDHASAMA GURU
SARBVABUDDHĀVAMĀNENA NITYA DUKHAM AVĀPNUYĀT||
ka: apan ikang wwang awajñā, awamāna, masampe guru, sa NITYAN DUKHAM APNUYĀT, ya ikā mulih ring naraka, tibā ring kawah sang yama, pinakahitip ning tāmragomukha; mangkana pāpa ning wwang awamāna maguru||
TASMĀT SARBVAPRAYATNENA BAJRĀCĀRYYAM MAHĀGURU
PRACCHANNAVARAKALYĀA, NĀVAMANYET KADĀCANA||
ka: haywa tan prayatna maguru, yadyapi – PRACCHANNAVARAKALYĀA –, ika gurunta tan katona hayu nira gua nira denta, ikan samangkana, NĀVAMANYET KADĀCANA, [a22] tan awamāna ta kita ri sira,āpan mahāpāpa mahāduhka ikang tan atwang maguru, matangnya wwara prayatna tah ri kabyāpāra sang guru||
NITYA SVASAMAYA SĀDHYO NITYA PŪJYAS TATHĀGATA
NITYAÑ CA GURUVAIDHEYA SARBVABUDDHASAMO HY ASAU||
ka: haywa kaluban kita gumawayakna sang hyang samaya, NITYA PŪJYAS TATHĀGATA, lāwan śāśwata kita gumawayakna ng tathāgatapūjā, NITYAÑ CA GURUVAIDHEYA, nityasa kita gumawayakĕn guruśuśrūā, umyāpāra sang guru, SARBVABUDDHASAMO HY ASAU, apa yāpan sarbwa tathāgata sama sang guru ngaran ira, matang yan sira pagawayaknanta kaśuśrūā||
DATTESMIN SARBVABUDDHEBHYO DATTAM BHAVATI CĀKAYAM
TADDĀNĀT PUYASAMBHĀRA SAMBHĀRĀT SIDDHIR UTTAMĀ||
[b22] ka: apan ikang wwang kadi kita, gumawayakĕn ikang guruśuśrūā, maweh upahārādi ri ang guru, yeka pangipuk dāna sambhāra ri bhaāra hyang buddha ngaranya, TADDĀNĀT PUYASAMBHĀRA, ya sambhandhanyan katĕmu ikang puyasambhāra, SAMBHĀRĀT SIDDHIR UTTAMĀ, ri kapangguhan ikang puyasambhāra, ya dumeh rikang kasiddhyan sulabha ri kita, ri prayatnanta rika guruśuśrūā||
NITYA SVASAMAYĀCĀRYYA PRAAIR API NIJAIR BHAJET
ADEYAI PUTRADĀRAIR VĀ KIM PUNAR VIBHAVAIŚ CALAI||
ka: hurip tuwi tinarimakan ri ang guru, gumawaya kabyāpāran ira donya, ADEYAI PUTRADĀRAIR VĀ, āstām ikang anak rabi inarpaākĕn ikā kabeh i bharāla guru, dāsa[a23]bhūtā, hulunan ira umyāpāra ri sira pakĕnanya, KIM PUNAR VIBHAVAIŚ CALAI, haywa ta winuwus ikang dwya ngaranya, kadyāngganing mās maik dodot pirak pinūjākĕn [n]ikā kabeh i ang guru||
YASMĀT SUDURLABHA NITYA KALPĀSAKYEYAKOIBHI
BUDDHATVAM UDYOGAVATE DADĀTĪHAIVA JANMANI||
ka: apan [n]ikang kahyangbuddhan atyanta parama durlabha kĕtekā, yadyapin KALPĀSAKYEYAKOIJANMA, lāwasa ning wwang gumawayakna ng kuśalamūla dānapāramitādi sumādhya ng kahyangbuddhan, ikān mangkana tan niyata kapangguha, sangka ri durlabha nikang kalĕpasan ngaranya, [b23] BUDDHATVAM UDYOGAVATE DADĀTĪHAIVA JANMANI, ikang kahyangbuddhan yateka winehakan de bharāla guru irikeng janmanta mangke, nghing hīnganan i göng ny anugraha nira kita, matangnya tan halang tan luṇḍu tan wĕlang wĕlutĕn angönanganta an pūjākĕn huripta mwang anak rabinta ri ang guru||
ADYA VA SAPHALAÑ JANMA YAD ASMIN SUPRATIṢṬHITA
SAMĀ SAMĀ HI DEVĀNĀM ADYA JĀĀ SVAYAMBHAVA||
ADYA VA SAPHALAÑ JANMA YAD ASMIN SUPRATIṢṬHITA: an pakaśaraa sang hyang samaya, SAMĀ SAMĀ HI DEVĀNĀM ADYA JĀĀ SVAYABHAVA: āpan awak hyang buddha ika mangke usĕn, karatalabyawasthita, ikang kahyangbuddhātwan ri kita, kāgĕm kamuṣṭi ikang kalĕpasĕn denta||
ADYĀBHIIKTĀYUMANTA SARBABUDDHAI SABAJRIBHI
[a24] TRAIDHĀTUKAMAHĀRĀJYE RĀJĀDHIPATAYA STHITĀ||
ka: pahenak tĕmbĕkta, sampun ktābhieka kita de [sa]sarbatathāgata lāwan sang sarbatathāgati; ngaran ikang abhieka tinarimanta: cakrawartyabhieka ngaranya||
ADYA MĀRĀ VINIRJITYA PRAVIṢṬĀ PARAMA PURA
PRĀPTAM ADVAYAIVA BUDDHATVA BHAVADBHIR NĀTRA SAŚAYA||
ka: awās alah nikang mārakarmma denta, PRAVIṢṬĀ PARAMAM PURA, niyata ikā nirbāapura katĕkan denta mangke, PRĀPTAM ADYAIVA BUDDHATVA, kapangguha niyata nikang kamokan denta ri janmanta mangke, BHAVADBHIR NĀTRA SAŚAYA: pahenak tāngĕnangĕnta, haywa sangśaya||
ITI KURUTA MANA PRASĀDĀBAJRA SVASAMĀYAM KHAKAYASAUKHYADAM BHAJADHVA
[b24] JAGATI LAGHUSUKHETI SARBVABUDDHAPRATISAMĀŚ ŚĀŚVATITĀGATĀ BHAVANTA||
ka: matangnya tulusakĕnta śddhānta, pahapagĕh ta manahta, makamārgga sang hyang mantranaya mahāyāna, SVASAMĀYA KHAKAYASAUKHYADA BHAJADHVA, atikāsta rumaka sang hyang samaya, āpan sira wĕnang umehakan ikang anuttarasuka, JAGATI LAGHUSUKHETI SARBVABUDDHAPRATISAMĀŚ ŚĀŚVATITĀGATĀ BHAVANTA, āpan ikeng janma manuya ngaranya, akĕik sukanya; yathānyat pangguhakna kahyangbuddhan, paā lāwan sang sarbwatathāgata, matangnyan lĕkasa umabhyasa sang hyang samaya, gumawayakna sang hyang mantranaya mahāyāna, haywa ta pra[a25]māda kita, kayatnakan tĕmĕntĕmĕn, yathānyan sulabha ikang kasiddhyan kapangguha denta||
Iti sang hyang kamahāyānan mantranaya samāpta||
*****MTG *****
i! namo buddhāya! i!
nihan sang hyang kamahāyānikan ya warahakna mami ri kita ng tathāgatakula jinaputra, adhikarmika sang hyang mahāyāna, ya ta warahakna mami ri kita||
yan molaha ring wukir, gihā, sāgaratīra, kunang kui, wihāra, gramanaruka patapān, kunang kita ring ketra haraan, alas (s)alwiranya, – pahayu ta sang hyang pahoman, umah śūnya ta ya, pasajyan, pangarccanān, anghanakna palangka, kambe, paththarana, surāga, kunang sing samanukhanana ri kita||
mangkana śarīranta haywa pinuccapucca, tan pihĕrana [b25] ring sarbwabhoga samāngdadyakna suka ri kita; manggala ring wastu pinangan ikā ta an panganĕn muwah, ya ta sambhawā tah dening amangana|| haywa lupa ri bhaktaparikrama||
mangkana yan (h)ana duhka ning śarīra, tan doa kita manghanakna tamba; sama rasana ri kita, haywa wawa ng alicin, āpan ewĕh sang tuhu licin|| sangkepanya: pahayu ta juga śarīranta, āpan hayu ni śarīra nimitta ning katĕmwaning suka, siuka nimitta ni katĕmwan ing manah apagöh, manah apagöh nimitta ni dadi ni samādhi, samādhi nimitta ning katĕmwan ing kamokan||
mahayu pwa śarīranta, maparagya kita niwāsana, makaiwandha, macīwara sopacāra, anaṇḍanga waluh, [a26] arĕgĕpa kekari|| yan buddhari kita, madaluwanga, masāmpĕta, mabhasmacandana mawīja sopacāra||
upāsaka kunang kita, saka sopacāranta ulahaknanta nirmāna, humĕnĕngāgranāsikā||
haywa ta manahta karakĕtan ri rasa ning aji tarkka, wyākaraa, tĕka ring āgama purāādi, saddharmma ning samayakośa, kriyā[ka]tantrādi, ngūniweh ri tan karakĕtananta ring praktacarita, wacawacan, gīta, nti ityewamādi|| doanyan karakĕtan: agöng kleśanya, kawalahan kita humilangakĕn ikang prakta: rāga, dwea, moha, mwang awasāna kita, yan kajĕnĕkana irikā kabeh, kadyangganing wwang mamanek (k)ayu, huwus tĕka i ruhur, patĕmahan tumu[b26]run glānāngel, sadākāla juga adoh manggihakna kamokan|| ndātan sangkeng abhiniweśa kami n pakojar ikā, i wruhanta makaphalāngel sadākāla juga, mwang makaphala śubha ni katamwan ing kamokan||
Version C
tamolah ta kitāmangun patapan ing wukir, gihā, sāgaratīrah, oma unggwan kui, wihāra, dharmma, alas salwiranya, – pahayu ta sang hyang pahoman, unggwan ing asamādhi, pasandyān, pangarccanan, ghaśūnya ta ya pangabhyāsananta ri sang hyang samaya, panghanakĕn kambe, pataraa, surāga, asing amangkenakana ring manahta||
mangkana yan hana duhka ning rāt śarīra, tan doa kita manghanakna tamba, kanimittan ing śarīranta paripūrna amagawe suka, magawe samyajñāna, magawe samādhi, nimitta ning katĕmu ning kamoktan popineta (?)|| matangnyān pintuhun wuwus mami: haywa wawa ng alicin, haywa pilih ring wastu pinangan, ndah haywa karakĕtan rasa ning pinangan, ika ta sapanganĕn muwah||
marūpa sampĕta kita, maparagya kita niwāsana, manaṇḍanga waluh, masonga kekari||
yan buddhari kita, masāmpĕta, mabhasmacandana, mawīja sopacāra||
yan upāsaka kunĕng kita, saka sopacāranta ulahaknanta, humĕnĕngāgranāsikā||
haywa ta manahta karakĕtan rasa ning aji tarkka, wyākaraa, tantrādi, mwang gīta, wacawacan, mangkin kanghelan kita mangalahakĕn ikang praktta|| praktta nga: rāga, dwea, moha||
kadyangga ning wwang mamanek kayu, huwus tĕka ing ruhur, matĕmahan tumurun muwah, glānānghel tan paphala||
iti pāja (L pājar) mami ri kita, kita wĕkas nikā, amintuhwa; tan pamintuhwa kita ri kami, tan walātkāra kami ri pamituhwanta ri kami: sangka ri tĕpĕtta kunang pamituhwanta ri kami|| haywa ta mangkana|| udikta tapwa pawarah mami rumuhun, pametakna darśana paricceda pratipattin, mūla madhyawasānanya, ya tekāgĕsĕng ananta ring sadābhyāsa|| haywa sinawangsawang, haywa sinamarsamar denta gumĕgö [a27] ri warah mami, kady anggān ing suwarapaṇḍita||
singgih wyākaraatantrādi, mapa pwekang aji yogya ngaran ikā, anung gĕgönĕn ing pinakanghulun, turunan(n)i warānugraha śrī mahāmpungku, ya tika hyang ning hulun ri pādadwaya śrī mahāmpungku||
aum! ana(k)ku kita ng jinaputra, mĕne kami awaraha irikang aji anung yogya gĕgönta|| hana apāramitā ngaranya, ya tīka paramabo[d]dhimārgga, ya tikā warahakna mami ri kita rumuhun, marapwan kita tan angel mangabhyāsa ri kapangguhan (r)i kahyangbuddhān||
nihan lwirnya a ikang pāramitā:
[b27] DĀNAŚĪLAÑ CA KĀNTIŚ CA VĪRYYA DHYĀNAÑ CA PRAJÑĀ CA
APĀRAMITAM UCYATE DĀNATRIVIDHALAKAA||
ka: dānapāramitā, śīlapāramitā, kāntipāramitā, wīryyapāramitā, dhyānapāramitā, prajñāpāramitā, iti nahan lwirnya nĕm ikang pāramitā, ya tīkā hawan abĕnĕr marerikang mahābo[d]dhi||
DĀNATRIVIDHALAKAA: tiga prakāra ning lakaa ning dāna, lwirnya: dāna, atidāna, mahātidāna||
dāna ngaranya:
ANNAÑ CA PĀNA KANAKĀDIRATNA DHANAÑ CA VĀSTRA ŚAYANĀSANAÑ CA
RĀJAŚRĪYA SVA NAGARAÑ CA DATVĀ VIJĀYATENEYA VADANTI DĀNA||
ka: sakweh nikang amirasa wastu, kady anggān i sĕkul [a28] inak, inuminuman, astamakĕn ikang wwai matīs awangi kapwekā winehakĕn i yawanakajanaka tĕkā ta ya ri mās, maik, dodot malit, rare hulun, wwangwwang, raā (?) gajah wājī, kaatwan tuwi wehakna ikā yan hana maminta ri kita, haywa makasādhya ng pratyupakāra|| wet ni göng ni sihta irikang satwa juga kita n wĕnang aweweh ikang yawanakajana, duluranta śabda rahayu, ulah yukti, āmbĕk menak|| ya tikā dāna ngaranya||
atidāna garanya:
SVĀÑ CĀPI BHĀRYYĀN TANAYAM PRIYAÑ CA DATVĀ PAREBHYA NA PUNAS TU TṚṢṆĀ
NA ŚOKACITTA PARAMĀUMĀTRĀ DVIJĀPATENEVA VADANTI DĀNA||
[b28] ka: anakbi bhāryyā, anakta kunang strī kāsihta towin puyāknanta ikā yan hana maminta ri kita, kady anggān sang mahāsatwa, an puyākĕn strī nira: bhāryyā nira, anak nira i sang brāhmaa mamalaku i sira|| āpan ikang tṛṣṇā pinakawāraa ning kahyangbuddhān: an kapangguha, pisaningūn kapangguha ng kahyangbuddhān|| panglinggana ri pĕgat nika tṛṣṇā ri kita, HAYVA TA NĀŚOKACITTA PARAMĀUMĀTRA, hamĕngan|| ikang puya mangkana pinakopāya ri kagawayan ing bo[d]dhinagara praweśa|| gawayan ing puya mangkana kramanya, ya tikātidāna ngaranya||
mahātidāna ngaranya:
DATVĀ SVAMĀŚA RUDHIRA PAREBHYA JITVĀSURENDRA HDAYA ŚARĪRA
DĀYĀNUBHĀVĀT NAVADUKHAMAYAT MAHĀTIDĀ[a29]NA PRAVADANTI SANTA||
ka: kady anggān sang mahāsatwa, an puyākĕn daging nira, rāh nira, mata nira, ng awak nira, tan hana katṛṣṇān ira irikā kabeh, makanimitta sih nira ring satwa, makasangkan māthanyan duka ikā satwa, (h)anan rākaa, (h)anan mong, (h)anan garua, pinuyākĕn ira ikā daging nira, rāh nira, mata nira, pinuyākĕn ira ri brāhmaa tuha wuta, parika ri kadānaśūran ira, hati nira pinuyākĕn ira ri bayakanut (?) kpa dukita, astamakĕn ikang awak sukāryyan ikang yawanakajana, tan tinĕngĕt ira|| kagawayan ing puya mangkana, ya tikā mahātidāna garanya||
iti nahan lwir ning dāna inajarakĕn tiga bhedanya||
[b29] śīlapāramitā ngaranya:
NIVTTIR AŚUBHĀT KTSNĀT PRAVTTIR AŚUBHE TATHĀ||
ITI SĪLASYA SAKEPA KĀYĀVĀMANASAKRAMĀT||
ka: ikang kāya, wāk, manah||
kāya nga śarīra, solah ning tangan suku, ya kāya ngaranya||
wāk ngaranya: śabda|| salwir ning wuwus ya śabda garanya||
citta: ikang hiĕp, ya citta ngaranya||
sangsiptanya: ikang kāya wāk citta ya tikā tan pagawaya pāpa; saprakāra ni inaranan pāpakarmma tan wineh mabyāpārerika|| ikang trikāya ngaranya: kāya, wāk, citta||
apa pwānung utsahanĕn ikang trikāya ? ikang gawe hayu, salwir ning inaranan śubhakarmma, ya hayu gawayakna dening trikāya||
[a30] apa lwir nikang aśubhakarmma, anung tan utsahanĕn dening kāya ?
PRĀĀTIPĀTAVIRATI ADATTĀDĀNAVIRATI KĀMAMITHYĀCĀRAVIRATI||
PRĀĀTIPĀTAVIRATI ngaranya: tan pamatimatya awak ning sinĕngguh prāī, agöng aĕmit, salwiranya, sadoa nirdoa, yāwat prāī, tan dadi pinatyan ikā|| apa doa nikā pinatyan ? bwat kawawa ring naraka, āpan ikang mamatimati ya hetu ning naraka, mamanggih dukātyantabhāra, angjanma preta tiryyak kelika (?) pipīlikādi||
ADATTĀDĀNAVIRATI ngaranya: tan dadi mangalap artha, yan tan winehakĕn; salwiran ing artha, mūlya tan [b30] mūlya, tan wĕnang wwang mangalap yan tapwanubhaya ikang madwya, hetu ning naraka ikā muwah mwang magawe tan śddha bhaāra ri kita, tan katon lakaa nira denta||
KĀMAMITHYĀCĀRVIRATI ngaranya: tan dadi tan wirati ring strī; salwir ning strī sinangguh tan yogya parigrahan, lwirnya: jaī, śikhī, muṇḍī, sakaṇṭaka, dwya ning guru mwang kuumbī santāna nira|| yadyapin i strīnta towi, yan dewagha kaparĕk sakeng buddhapratiwimba, sang hyang arccā, pratimā, pĕa, pustaka, ngūniweh sthāna sang guru, tan dadi gumawayakna sanggama|| apa doanyan ginawayakĕn ikā ? hetu ni naraka ikā muwah, mwang (h)ilang phala ning yoga brata samādhinta de nikā||
[a31] ikang wirati sangkerikā katiga ya hayu ginawayakĕn ing kāya garan ikā, mwang tan dadi pādacapala hastacapala, mwang tan gamĕlĕn uttamāngganta dening tapwan manarima sambhara|| doanyan gamĕlĕn: lunghā bhaāra pañcatathāgata sangke śirahta, ya ta matangnyan inalapan sangaskāra ginamĕl śirahnya dening tapwan manarima sambhara, apan lumĕbur padma bhaāra buddha ikang ginamĕl śirahnya deni grāma; mwang tan dadi masuke gha ning caṇḍāla, apan buddhālaya tatwa ni śarīranta ri huwus tan kinĕnan buddhābhieka|| bhaāra buddha pwa parameśwara ning parameśwara, SARVVADEVATĀGURU, guru ning sarwwa[b31]dewatā|| ya ta hetu nira tan wĕnang kawaweng adhakriyā, mwang tan wiśea ning upadhāna; ya ta hetu ni tan panambah ring strī, mata gurupatnī, tan dadi ng wwang manabah ri sira, āpan SVOTPĀDAKAHETU TU TATVA BHAĀRA SUGATA, dadi makakāraāwak nira, śāsana nira ya ta tinūtakĕn de sang sogata|| ikā ta ng gati tan panambah ring strī, tan ginamĕl mastakanya dening tapwan ktābhieka, ikang tan para ring andhakriyā, ya hayu ginawayakĕn dening kāya ikā||
mapa ng hayu gawayakna dening wāk ?
nihan kramanya: haywa mṛṣāwāda, tan paiśunya, tan pāruya, tan sambilāpa wirati, tan pañalānana sarwwa[a32]wastu makādi ng pinangan, tan pangdoanana gua nirgua ni para (?), mwang tan panginang asĕpah ning strī, tan pamangan acyutasamīpa, tan panginang asĕpah ning strī, tan pamangan acyutasamīpa, tan pamanganani wedāntaniwedya, bhaāra buddha, – ikā ta gati mangkana yekā hayu ginawayakĕn dening wāk ngaranya||
mapa ng hayu ginawayakĕn dening citta ?
tan göng rāga, tan göng dwea, tan moha, tan dambha, tan īryā, tan mātsaryya, mwang tan göng krodha, tan göng lābha, tan göng śoka, mwang rĕa śuci, satya ring utang, mwang haywa mithyādṛṣṭi, agöng ta sihnya ri sarbwasatwa, mwang sambeganya, apagĕh ta bhaktinya ri bhaāra pañcatathāgata, mwang ri bhaāra ratnatraya; (h)ayun ta ya lumĕpasakna ng sarbwasatwa sangke sang[b32]sāraduka, – ya tikā hayu ginawayakĕn dening citta ngaranya||
sangsiptanya: inak ni pagĕh ning pariśuddha ning kāya wāk citta, ya sinangguh śīlapārāmitā ngaranya||
kāntipāramitā garanya:
MITRĀMITRASĀMA CITTA APŪJAYO SAMA
KRUDDHEU ŚĀNTISAURATYA KĀNTIPĀRAMITA VADET||
ka: ikang citta kĕlan ring parāwamāna aneka lwir nikang pisakit (t)inĕkākĕn ikang melik ri kita, hanan kāya tan yukti, śabda tan yukti, citta tan yukti, tatan malara, tan kagyat, pisaningūn ahyun malĕsa ring ahita, kewala tumarima ikang pūrbwakarmmapārādha, tan pahuwusan mangangĕnangĕn haywa ning sarbwasatwa|| juga ng wini[a33]wekā, kinagorawan pwa kita, tatan gĕmĕgĕmĕn, tan hara, tan girang hyasĕn, mwang sama buddhinta ring sarbwasatwa||
sangsiptanya: tan hana wikāra ni buddhinta ri sĕdangnyan inawamānan mwang kinagorawan|| ikā tang gati mangkana ya sinanggah kāntipāramitā garanya||
wīryyapāramitā ngaranya:
VĪRYYĀRĒMBHO DIVĀRĀTRAU SATVĀNĀ HITAKĀRAĀT
KAROTI NĀŚRAVA KIÑCIT VĪRYYAPĀRAMITĀ SMTĀ||
ka: ikang kāya wāk citta ya tikābyāmara tadā ng luh, tan alisuh gumawayakĕn ikang kuśalakarmma ri rahina ri wĕngi|| lwir ning kuśala gawayakna ri rahina: saddharma lekhana, mamūjā, maweha ng ājya, manulis (s)ang hyang ākāra pallawa, manasi (?), saddharmawacana, [b33] umaca sang hyang dharmma ri pustaka, sthūpopakāraa, mangarĕmbha sang hyang sthūpa tathāgatapratiwimba, mangārcchanākna sarbwopakriyā, mahoma, mwang makabuddhyanggorawa ring tamuy|| nahan lwir ni kuśala gawayakna dening kāya wāk citta ri rahina ikā||
mapa ng kuśala gawayakna ning kāya wāk citta ri rātri ?
majapa, mayoga, masodhyāya, mangucchāraākna mantra stuti ri sang hyang sarbwatathāgata, sarbwadewī, mangangĕnangĕna sarbwasatwa, mwang mangangĕnangĕna swasthā ning sarbwasatwa, luputanya sangkeng rekhā, hĕntasnya sangkeng bhāwacakra, pamanggihanya kasugatin, atĕnganya ring lokottarasuka|| mangkana kagawayan ikang kuśala ri [a34] wĕngi dening kaya, wāk, citta, tan pāntara, tan kahanana luh tan panangguh angel|| ikang gati mangkana ya wīryyapāramitā ngaranya||
dhyānapāramitā ngaranya:
ŚREṢṬHAMADHYAMAKANIṢṬHE SATYE NITYA DAYĀMATI
YOGINA YOGASĀMARYAT DHYĀNAPĀRAMITĀ SMTĀ||
ka: kang āmbĕk mangekāntākĕn takwatakwan, nitya masih ring sarbwasatwa, kaniṣṭamadhyamottama, inangĕnangĕn hitasukāwasānanya, ngūniweh ikang rāt kabeh, inanusmaraa hitasukāwasānanya ring ihatraparatra denira|| umapa de nira umanusmaraa hitasukāwasānanya ikā sarbwasatwa ? inak ni denira tumunggalakĕn awak nira|| [b34] mapa lwir nikang āmbĕk ? YA EVA SATVA SA EVĀHAM, SA AHA SA SARBVASATVA, ITYĀDYAKĀRAMABHŪT, ikang awak ning sarbwasatwa awak(k)u ikā, awak(k)u awak ni sarbwasatwa ikā; apayāpan AVIBHĀGEKASVABHĀVĀ, ikang sarbwawastu tan hana bheda ri sarbwadharmma, mangkana kāraa ikang āmbĕk|| ya tikā dhyānapāramitā ngaranya||
prajñāpāramitā ngaranya:
YĀVANTI SARBVAVASTŪNI DAŚADIKSASTHITĀNI CA
TĀNI ŚŪNYASVABHĀVĀNI PRAJÑĀPĀRAMITĀ SMTĀ||
ka: sakweh nikang sinangguh(h)ana ring loka, DAŚADIKSASTHITA, ikang umunggu ri deśa sapuluh: pūrwwa, dakia, paścima, uttara, āgneya, nairti, wāyawya, niśānī, ūrdhwa, adha, ya tikā kawruhana tĕka ring [a35] śarīra, wāhya ahyātmika, mwang sarbwasatwa, sarbwawidhya, sarbwakriyā, sarbwa kabwatan, sarbwapaka, ya tikā kawruhana, sākāranya nirākāranya an makatatwa ng śūnyatā|| sambandha: tan katamwan yan iningĕtingĕt an pakāwak ang ekānekaswabhāwa, āpan tunggaltunggal mapupul matĕmu ikang sinangguh akweh ngaranya|| anung matamwa ya tikā tan katĕmu n tinatwa wināswas, iningĕtingĕt tan katĕmu ikang sinanggu tuhutuhu tunggal garanya|| tumuluy ata ng ingĕtingĕt, umingĕtingĕta yan taya ng tuhutuhu sinangguh makweh; tatan ring wāhyawastu juga katĕkan tatwa mangkana kramanya, tĕkā ring jñānaswarūpa paa tan katamwan an ikā ekānekagrahyakāra; karikā grāhakākāra kunang agrāhaka, [b35] agrāhya kunang tatwanya, tan katĕmu kahiĕpanya, enak pwa kahiĕpanya ring śūnyatā ekaswabhāwa|| ikang śūnyatā ning sarbwadharmma ekaswabhāwa; mwang wāhyādhyātma sakaa ingĕtingĕt ta ikang sinangguh śūnyatā ngaranya, tan katĕmu [h]atah tatwanya an grāhyarūpa an grāhakarūpa, satata sandeha prawtti ikang jñāna|| umabhyāsa ikang śūnyatā kadi rūpa bhāwana tan katĕmu atah awaknya||
nihan prastāwa nikā grāhyagrāhakarūpa|| ri wĕkasan pwa ya ta sarwwaprapañcawarjita, ikang jñāna tuminggalakĕn sarwwaprapañca tan pamikalpa ring (h)ana taya, ya ta pagĕh sthiti tan polah, ākāśamata lwirnyālilang anirawāraa, paa lāwan ākāśa|| ndah ya tika wastu sinangguh prajñāpāramitā nga ikang inabhyāsa ang hyang sarbwasiddhi, matangnyan pangguhakĕn ikang kahyangbuddhān||
iti nāhan lakaa ning sinangguh apāramitā ngaranya||
kagĕgö pwekang apāramitā denta, kita ng tathāgatakula jinaputrādhikarmika, lakaākĕn tang caturpāramitā||
caturpāramitā ngaranya: metrī, karuā, muditā, upekā||
metri ngaranya: PARAHITAKĀKTVA, ākāra ning jñāna sang satwawiśea|| sang satwawiśea garanya: sang tumakitaki apāramitā mwang caturpāramitā, sira ta satwa[b36]wiśea ngaranira|| ākāra ning jñānanira gumawe haywa ning para|| para garanya: sarbwasatwa, kaniṣṭhamadhyamottama, ikang sih ring para tan phalāpeka, ya metrī ngaranya||
karuā ngaranya: PARADUKHAVIYOGEC CA, ākāra ning jñāna sang satwawiśea ahyun (h)ilanga ni duka ning sarbwasatwawiśea karuā, lwirnya: dukadukatā, sangskāradukatā, pariāmadukatā|| nāhan lwirnyan tiga ng duhka||
dukadukatā ngaranya: pangalapnya sor sangkeng janmanya tambayan, kady anggān ing janmamānua, mātī pwa ya, mangjanma ta ya go gawayādi, ya tikādukadukatā ngaranya||
sangskāradukatā ngaranya: pāpa walwiwalwinya [h]iri[a37]kang janma katĕmu denya tambayan, kady ānggan ing janma wwang, māti pwa ya, mangjanma ta ya wwang muwah|| ya tikā sang[a]skāraduka(tā) ngaranya||
pariāmadukatā ngaranya: pangalapnya janma sor muwah ri huwusnyan pamangguhakĕn janma lĕwih sangke janmanya ri tambayan, kady ānggan ing janmamānua, māti pwa ya, sangka ri tan pramādanya ring dharmma, mangjanma ta ya dewatā, sangka ri pramādanya mangjanma ta ya mānua muwah|| ya tikā pariāmadukatā ngaranya||
nāhan lwirnyan tiga ikang duka|| ikang satwa amangguhakĕn duka mangkana kramanya, ya tikā kinĕnan karuā de sang satwa wiśea||
TRIVIDHĀ KARUĀ JÑEYĀ, tiga prakāra ning karuā, lwirnya: satwālambanakaruā, dharmmālambanakaruā, [b37] anālambanakaruā|| nāhan lwirnyan tigang karuā||
satwālambanakaruā ngaranya: APRAHĪNĀTMADṚṢṬĪNA DUKHITASATVĀLAMBANĀ KARUĀ, karuā ning hanāgrahanya ryy awaknya: an gawayakĕn ikang karuā irikang satwa manĕmu duka ināgrahanya pagawayan[a] karuā, tĕlas pagawayan [ā] metrī, PTHAGJANANĀ SATVĀLAMBANAKARUĀ, kady ānggan ing karuā ni pthagjana, satwālambana karuā ngaranya||
dharmmālambanakaruā ngaranya: PRAHĪNĀTMADṚṢṬĪNĀ DUKA, SASKĀRAVIAYĀ KARUĀ, karuā ning tan hanāgrahanya ryy awaknya, an gawayakĕn ika karuā, irikang satwa manĕmu duka, makatanggwan hana ni abhiniweśanya ri duka ning satwa pagawayan karuā, tĕlas [a38] pagawayan metrī, MAHĀSATVASYA ĀRYYASYA DHARMMĀLAMBANĀ KARUĀ|| kady anggan i karuā sang mahāsatwa sang āryya, ya dharmmālambanakaruā garanya||
anālambanakaruā garanya: PRAHĪNĀTMADṚṢṬĪNĀMEVAN ABHINIVEŚASASKĀRAVĀHINI MĀRGGE BYAVASTHITANĀM ANĀLAMBANĀ KARUĀ, karuā sang tan hanābhiniweśanya irikang satwa pagawayan karuā, tĕke dharmmanya, makatanggön tan hanābhiniweśanya, an gawayakĕn ikang karuā ring satwa manĕmu duka tĕlas pagawayan mĕtrī, GRĀHYAGRĀHAKĀBHINIVEŚAVIGATĀNĀ BUDDHABODHISATVĀNĀM ANĀLAMBANĀ KARUĀ, kady anggān i karuā sang bodhisatwa nirāgraha, ya anālambanagāni karuā sang bodhisatwa nirāgraha, ya anālambana[b38]karuā ngaranya||
iti nāhan prabheda ni karuā||
muditā garanya: PARAHITATUṢṬI SATVAVIŚEASYA JÑĀNASYĀKĀRA, inak ny ākāra ni jñāna sang satwawiśea de ni suka ni satwa, tĕlas pagawayan ira metrī karuā, muditā garanya|| tigang muditā: satwālambanamuditā, dharmmālambanamuditā, anālambanamuditā|| nāhan lwirnyan tiga, kadi dening umartha tiga ngūni, mangkana dening umartha tiga mangke||
upeka garanya: lābhānapeka satwawiśeasya jñānasyākāra, ākāra ni jñāna sang satwa wiśea tan pangapekā lābha|| tan pangapekā lābha garanya: tan [a39] wawarĕngö ni jñāna sang satwa wiśea ring walĕs: pūjāstuti ngūniweh [h]artha|| an gawayakĕn ikang metrī karuā muditā ring satwa, makanimitta katonan i duka ning satwa, yogya pagawayana upekā|| sinamprayutta deni kagawayan ing upekā, tigang upekā: satwālambanopekā, dhammālambanopekā, anālambanopekā|| sakrama ny artha nikang tiga ngūni mangkanārtha ni kātiga mangke||
ikang metrī karuā muditā upekā, ya tikā sinangguh caturpāramitā ngaranya||
papupul ni caturpāramitā mwang apāramitā, lwi(r)nya: dāna, śīla, kānti, wīryya, dhyāna, prajñā, metrī, karuā, muditā, upekā|| ya tikā sinangguh daśapāramitā ngaranya, ya tikā matatwa pañcadewī:
[b39] BAJRADHĀTVĪŚVARĪDEVĪ MAHĀPRAJÑĀRŪPAVATĪ
PATYAU PARAMASEVITĀ APĀRAMITAM UCYATE||
śrī bajradhātwīśwarī sira ta lĕwih prajñā nira, atĕhĕr surūpa, atiśaya de nira sewitaswāmī ri bhaāra wairocana, sira ta makatatwa ng apāramitā||
MAITRILOCANĀ VIJÑEYĀ MĀMAKĪ KARUNĀ MATĀ
MUDITĀ PĀṆḌARAVĀSI UPEKĀ TĀRĀ UCYATE
bharālī locanā metrī tatwa nira, bharālī māmakī karuā tatwa nira, bharālī pāṇḍarawāsinī sira ta makatatwa ng upekā|| mangkana tingkah ning daśapāramitā, an makatatwa pañcadewī, ya ta matangnyan sang mangabhyāsa hayu [a40] dewī, sira sewita rumuhun ri wāhyādhyātmika, apan sira paa ning umanggihakĕn i kahyangbuddhān||
iti daśapāramitā parisamāpta, paramamārgga atang ring mahābodhi ikā||
huwus pwa enak wruhta irikang daśapāramitā mahāmārgga, kawruhi tang paramaguhya mwang mahāguhya||
paramaguhya garanya: rūpa ni awak bharāla, āpan sinangguh mahāwiśea, kapratyaka de sang yogīśwara||
mahāguhya: ikang kāraa ri kapangguhan bharāla, lwirnya: yoga lāwan bhāwanā|| pāt lwir ning yoga, pawĕkas ang ācāryya śrī dignāgapāda, lwirnya: mūlayoga, madhyayoga, wasānayoga, antayoga||
[b40] mūlayoga garanya: humiĕp hana bharāla ring ākāśa|| madhyayoga ngaranya: humiĕp hana bharāla ring śarīra|| wasānayoga ngaranya: humiĕp hana bharāla ring pthiwīmaṇḍala|| antayoga garanya: humiĕp hana bharāla ring śūnyatāmaṇḍala||
śūnytāmaṇḍala ngaranya: deśa ning bhināwanā||
deśa ning bhināwanā: pāt kweh ni bhāwanā|| lwirnyan pāt: śastībhāwanā, umibhāwanā, wddhabhāwanā, agrabhāwanā||
śastībhāwanā ngaranya: wikalpa ri hilang ning rāga|| umibhāwanā ngaranya: wikalpa ri hilang ning dwea|| Ūrddhabhāwanā ngaranya: wikalpa ri hilang ning moha|| agrabhāwanā ngaranya: wikalpa ri hilang ning kleśatraya||
krama ni patĕmu ning bhāwanā lāwan yoga, yekā kawru[a41]hana panujunya|| śantibhāwanā kāraa ning mūlayoga; uṣṃibhāwanā kāraa ring madhyayoga; ūrddhabhāwanā ngaranya kāraa ring wasānayoga; agrabhāwanā garanya kāraa ring antayoga|| mangkana krama ning patĕmu ning bhāwanā mwang yoga|| tunggal tatwa ni bhāwanā mwang yoga, paajñāna sang yogī|| kunang bhedanya: ikang bhāwanā manghiĕp samanya, ikang yoga manghiĕp swalakaa, dudū ning wiaya tinūt ning bheda ning wiayī||
tumūt tang caturāryyasatya, kawaśākĕn denta marapwan siddhi yogabhāwanānta, lwirnya: dukasatya, nirodhasatya, samudayasatya, mārggasatya|| nāhan lwir ning caturāryyasatya anung gĕgönta||
iking yoga, bhāwanā, caturāryyasatya, daśapāramitā, [b41] ya tikā sinangguh mahāguhya ikā|| sājñā mahāmpungku, paran pwekang aji anung gĕgö ni pinakanghulun, marapwan kapanggih ikang paramaguhya, pāwak bhaāra wiśea, marapwan siddhi nghulun ?
i ! hanāji sang yogadhāra ngaranya, tigākaranya tigārthanya: adwaya iti, nāhan lwirnya|| adwaya ngaranya: adwaya mwang adwayajñāna|| adwaya ngaranya: a a|| adwayajñāna ngaranya: ikang wruh tan wikalpa ri hana taya, tan wikalpa ri sĕla ni hana taya, kewala humidĕng nirākāra|| hana linganteriya taha, taya linganteriya taha, ri sĕla ning (h)ana taya linganteriya taha, manameya phala linganteriya phala, [taha [a42] tapwa linganteriya, sakalingan ing manangguh] haywa juga sangśaya taha pwa linganta, adwayajñāna mangkana linganta||
hana ya [h]aji sayogacara ngaranya, tiga kāraanya, tigārthanya, lwirnya: adwaya iti, mangkana lwirnya, ikang aji adwaya ngaranya mwang adwayajñāna nga a a, ikang wruh tan pamikalpa ring hana taya mwang ri sĕla ning hana taya, kewala umidöng nirākāra|| hana linganteriya tahā, ri sĕla ning hana taya linganteriya tahā, mānameyaphala linganteriya tahā, tahā pwa linganteriya tahā, tahā pwa linganteriya tahā, ya kalingan ing manangguh haywa juga sangśaya|| apa pwa linganteriya adwayajñāna||
ikang a a mwang adwayajñāna ya adwaya ngaranya|| a ngaranya: pasuk ning bāyu, a śabdanya, lumrā ring śarīra, ngūniweh ring nawadwāra, sūryyarūpa ikang śarīra hibĕkan denya, smtisūryya ngaran ikā|| – a ngaranya: wijil ning bāyu sangke śarīra, a śabdanya, muka ring śarīra, candrarūpa ikang śarīra ri muka ning bāyu ring śarīra, somya lilang ahĕning ikang śarīra wĕkasan, śāntacandra ngaran ikā, śāntasmti ngaranya waneh|| ri hana ning smtisūryya śāntacandra dadi tang adwayajñāna, patĕmu ning adwaya mwang adwayajñāna, ya tāngdadyakĕn di[b42]warūpa, [awā sadākāla, ahĕning nirāwaraa kadi teja ning maik, apaang rahina sadā, sugandha tan gawaigawai, surūpa tan gawaigawai, surasa tan gawaigawai sira katon denta]|| ikang a a ya tikā sinanggah sang hyang adwaya ngaran ira bapa sira de bhaāra hyang buddha|| ikang jñāna wruh tan wikalpa humidĕng nirākāra, ya tikā sinanggah sang hyang adwayajñāna ngaran ira|| sang hyang adwayajñāna sira ta dewī bharālī prajñāpāramitā ngaran ira, sira ta ibu de bhaāra hyang buddha|| sang hyang diwārūpa sira ta bhaāra hyang buddha ngaran ira||
sangsipta ning a a mwang adwayajñāna ya rasa ning aji [a43] adwaya ikā|| ikang aji adwaya sari ning aji tarkka wyākaraa||
uli(h)an ing angaji tarkka: wruha ring adwayajñāna, āpan bharālī prajñāpāramitā wĕkas ning jñāna pinet [n]ing mangaji tarkka, hetunyan prakaraa kāraa ri kapanggihan bhaāra hyang buddha||
phala ning mangaji wyākaraa wruha ri sang hyang adwaya, apan a a wĕkas ning aji wyākaraa, hetunyan wyākaraa kāraa nira ri katĕmwana sang hyang adwayajñāna||
patĕmu ning wyākaraa mwang prakaraa ya tikā mijilakĕn aji tantra, pinakāwak bhaāra hyang buddha||
sangsiptanya: tang jñāna awak bhaāra hyang buddha, apan pĕh ning jñāna matĕmu lāwan bāyu humĕnĕng inandĕlakĕn ing śabda a a, ikang sinangguh sang hyang diwa[b43]rūpa garan ira|| sangkepanya: artha ning adwayaśāstra ya ta udik pĕgatakna gĕsĕngananta ri sadābhyāsa, sādhanantāt manggihakna ng kahyangbuddhān||
mapa de ning lumĕkasa ? makasādhana sang hyang adwaya|| tan kari ikang bāyu a mangkana lingnya, ya ta isĕp i tutuk, andĕlakĕn i gurunggurungan, haywa ta wawarĕngö ri pasuk wĕtu ning bāyu sakeng irung; ikang inandĕlakĕn ing gurunggurungan, ya ta lumrā humibĕk i śarīranta kabeh, atĕmah sūryyaraktawara|| muwah dadyakna [ng] tang bāyu a, mangkana lingnya: andĕlakĕn i gurunggurungan, muka ring śarīra, atĕmah śāntacandra, somya līla, saprāāyāma ngaran ikā, nityasā kita mangkana, hilang sarwwakleśanta, ri huwus nikā, andĕlakĕn tang buddhānusmāraa||
buddhānusmaraa ngaranya: sang hyang adwayajñāna kasākāt kta ni tan hana ning hiĕp, len tang hiĕp mwang manghiĕp, tingkahnya: ikang bāyu tan masuk mĕtu ri tutuk, ring irung kunang muka mwang ikang śarīra de ni kaśaktin sang hyang adwaya mwang kaśaktin sang hyang adwayajñāna, ri wĕkasan awā līlāhĕning awās ikang śarīra, mwang tan pānghiĕp, tan hiniĕp, kewala lilang ahĕning nirāwaraa ikang śarīra, nirākāra apaang rahina sadākāla śarīranta, kadi miñak inandĕlakĕn miñak|| sira [b44] ta dewawiśea ri boddha, bhaāra paramaśūnya ngaran ira, sira ta bhaāra paramaśiwa ngaran ira, bhaāra purua sira de sang wadiśiyā bhagawān kapila, sang hyang ātma garan ira de sang wadikanabhakyaśiya, bhaāra nirgua ngaran ira de sang wadi weṣṇawa, sira ta phala ni pratyaka de ang ācāryya nirākāra, sira matĕmah bhaāra ratnatraya mwang bhaāra pañcatathāgata de ang ācāryya sākāra, sira inandĕlakĕn ri sang arcca, pratima, pĕa de ang ācāryya wāhyaka, sira sang hyang wiśeajīwa ngaran ira, sira ta sang hyang wangsil ngaran ira waneh||
aturū pwa kita rumĕgĕpa mangkana yekā yoganidra ngara[a45]nya, aturū tan pangipi|| ewöh katamwan ira, apan sira phala ning sarbwayoga, sarbwasamādhi, sarbwabrata, wĕkas ning sarbwapūjā, sarbwapraamya, sarbwamantra, sarbwastuti, nityasa pwa sira katon denta, wĕnang ta kita umratyakākĕn ikang dūrasūkma, kawaśa pwa śarīranta mangekatwa kalawan sira, makanimitta kawaśa ning samādhinta, ya tikā sinanggah amanggihakĕn aṣṭeśwaryasuka ngaranya, yapwan śarīranta ekatwa kalawan sira, sadākāla, tan saprayogi ta kita an pakāwak ri sira, yekā sinanggah mokaskandha garanya, sinanggah siddha munīndra garanya||
sang hyang adwaya mwang sang hyang adwayajñāna sira ta wĕkas ning sarwwaśāstra, sarwwa āgama sarbwasamyak[b45]byapadeśa, sarbwopadeśa, sarbwasamaya|| sang hyang adwaya mwang sang hyang adwayajñānātah āpan sira wĕkas ning winarahakĕn, ya ta matangnyan sang hyang yogādi paramanairātmya garan ira waneh de sang boddha, ananta paramanandana ngaran ira de sang bhairawa, mārggayogādi paramaguhya ngaran ira de sang siddhānta, nikalādiparama ngaran ira de sang weṣṇawa, sira ta sodhamatatwānta garan ira, ewöh sang kumawruhane sira||
sājñā mahāmpungku, tulusakna pwa sih śrī mahāmpungku ri pinakanghulun, warahĕn ri lakaa muwah sādhana ni umangguhakna sang hyang diwarūpa||
au ! pahenak denta rumĕngö kita ng tathāgatakula jinaputra|| ikang śarīra aṣṭa dalapan malawö, wwalu lawö[a46]lawönya, lwirnya: mata, nga, talinga, nga, irung, nga, tutuk, ba, pāyupastha, ba, nāhan pinakalawölawönyan wwalu, ya ta inandĕlakĕn bajrajñāna|| bajrajñāna ngaranya: sang hyang adwayajñāna|| ikang lambe i sor i ruhur mwang ilat, ya ta bajrarūpa, makawarak tungtung ning jihwa, makaśuci lambe i sor i ruhur; ikang bajra mangadĕg ri śarīra padmarūpa sake tungtung ning ilat, mingsor tang a…kāra, mandĕl i sor ni padma, [ikang akāra mandĕl i sor ni padma], ya ta tĕmah sūryya, dumilah deni dilah nikang sūryya, lĕbur arok; dadi tang akāra lumĕpasakĕn lĕbur ikā kabeh, muka parok ni lĕbur nikā, mwang ikang ākāra tĕlas dadi tang mairatnanirmma[b46]lākāra, ya ta panganusmaraanta irikang rāt kabeh||
yan hana wwang alara prihati kunang katuturananta kady anggan ing cintāmai, hilang ikang duka denya, apan ikang jñāna kita kĕna (?) nirmmalākāra ri swacittanta, atĕmahan sang hyang diwarūpa sira||
muwah (h)ana ta saptajanma ngaranya|| gawayakna[na]nta kang pratipatya ning adwaya|| sādhanamātra tan parowang prajñā kadi manah ning rarai jro wĕtang, ya jambhalasamādhi ngaranya||
karĕgĕpan ing adwayayoga wruh ri tatwa kadi buddhi ning manuk wāhu tĕtĕs ri hantiga, ya wāgīśwarasamādhi garan ikā||
karĕgĕpan ing adwaya mwang prajñā karuā ri sarbwasatwa, ya lokeśwarasamādhi ngaranya||
karĕgĕpan ing adwaya mwang bajra krodha karuā ring [a47] sarbwasatwa, bajrasatwasamādhi garan ikā||
karĕgĕpan ing adwaya mwang prajñā makapuhara anurāga ri sarbwasatwa, muniwaracintāmaisamādhi ngaran ikā||
karĕgĕpan ing adwaya mwang prajñā makāwasana ng warahwarah ri heyopadeśa ri sarbwasatwa, śwetaketusamādhi ngaran ikā||
karĕgĕpan ing bāyu a śabdanya, humibĕk ing śarīra sūryyarūpa ikang śarīra, hilang tang śarīra linĕpasakĕn dening bāyu a śabdanya, muka tan pahamĕngan, tatanpāna pasuk wĕtu ni bāyu, hidĕng ning bāyu tan hanātah, śarīra citta tan hanātah, samangkana awā lilang ahĕning nirāwaraa nirākāra rahina sadākāla pinakāwaknya, kumāranirbbāa cittamaisamādhi ngaran ikā||
[b47] kapingpitu ni samādhi samādhi ning meh muliha ri kolilahan, manggihakna kamokan||
nihan ta waneh pājara mami ri kita, ikang śarīra i jro i yawa stūpa prāsāda|| kunang ta ngaranya ikang akara:
NAMA SIDDHA
A, Ā; I, Ī; U, Ū; RĔ, RÖ; LĔ, LÖ; E, AI; O, AU, A, A||
KA, KHA; GA, GHA; A||
CA, CA; JA, JHA; ÑA||
A, HA; A, HA; A||
TA, THA; DA, DHA; NA||
PA, PHA; BA, BHA; MA||
YA, RA, LA, VA||
ŚA, A, SA, HA||
nihan lwir ning akara pinakāntara nikang śarīra prāsādatatwa||
nihan ajarnya: NAMA: kāyaśuddha; SIDDHAM: hĕning suka; A, Ā: janmasuka; I, Ī: warasateja; U, Ū: rūpa paripūra; RĔ, RÖ: mata mulat; lĔ, lÖ: talinga mangrĕngö; E, AI: irung mangambu; O, AU: pāyupastha; A A: jñāna sūryya śāntacandra||
[a48] NA: tahulan; MA: rudhira; SI: daging; DDHA: kulit; A: jñāna; Ā: lrānya; I: wara; Ī: lrānya; U: rūpa; Ū: lrānya; RĔ: mata; RÖ: lrānya; LĔ: talinga; LÖ: lrānya; E: irung; AI: lrānya; O: pāyupastha; AU: lrānya; A: sūryya; A: śāntacandra||
KA, KHA; GA, GHA, GHA; Ga||
CA, CA; JA, JHA; ÑA||
mata mwang tinon|| –
A, HA; A, HA; A||
talinga mwang rinĕngö|| –
TA, THA; DA, DHA; NA||
irung mwang kambung||
PA, PHA; BA, BHA; MA||
pāyupastha|| –
YA, RA, LA, VA||
bhūmi|| –
ŚA, A||
suku kalih|| –
SA, HA||
tangan kalih|| –
KA, KHA; GA, GHA||
PA, PHA; BA, BHA||
kāmadhātu|| –
NĀ, GA, JA, LĀ||
ÑA, NA, A,
tĕlĕknya|| –
TA, THA, DA, DHA,
YA, RA, LA, VA,
rūpadhātu|| –
KA, KHA; GA, GHA;
CA, CA; JA, JHA;
arūpadhātu|| –
KA: tĕlĕknya
ŚA: paryyanta ning jñāna
A: strī
SA: purua
MA: usus
nāgāng lĕkĕr
HA: rasuk ning adwaya||
[b48] ikang akara 37 kwehnya adwayātmaka ikā kabeh, arok lawan kleśa, awĕlu rūpanya; ngke śarīra stūpa iheng i jro prāsāda, i taṇḍas nikang stūpa prāsāda śarīra ngka ta kahanan bhaāra hyang buddha masamāhitarūpa nira ngkana|| pājar sang hulun ktopadeśa i sang hyang mahāyāna, kengötaknanta kita ng jinaputra||
nihan ta waneh pājara mami ri kita: haywa dśya dening len śarīranta mwang huripta, radinana wehalilanga, matanta kalih āditya sateja, talinganta kalih āditya sateja, irungta kalih āditya sateja, i ilatta lambenta āditya sateja, hatinta, [a49] pusuhpusuhta, wungsilanta, amprunta, paruparunta, limpanta, ususta, āditya sateja tapwa śarīranta kabeh i yawa i jro, mangkana denta mahayu śarīranta|| āditya sateja garanya: karĕgĕpan ing ādwaya, yatānyan [h]ilanga sarwwakleśa ri śarīranta kabeh, tĕmah ta śarīranta somya lilang||
lambenta i sor i ruhur patĕmwaknanta tungtung nīlatta ya ta andĕlakna ri tungtung ning [h]untuta, sĕla ning [h]untu i sor i ruhur sarambut deyanta, isĕpta bāyu sake tutuk, pingsorakna tĕkeng pusĕr, miṇḍuhurakna ikang bāyu humĕnĕnga tan polaha, ikang bāyu sūkmālit tatan katĕngĕra mingsor miṇḍuhur, samangkana ng bāyu rakta dadi a lingnya, atĕmah āditya paripūra sakaja [b49] umasuk ri śarīranta|| ri huwus nikā dadi tang manah alilang ahĕning nirāwaraa, kadi kāla ning lahrū tĕngah ng we|| ikang āmbĕk mangkana yeka sinanggah kahuangbuddhān ngaran ira, sira ta maik sarwwasaparipūraka garan ira, mangkanābhyāsanta sārisāri, yatānyan manggihakna ng kahyangbuddhān||
muwah hana ta saptasamādhi ngaranya, lwirnya: pĕgĕng ikang bāyu sapraśwāsa, humĕnĕng āmbĕkanta, tan wawarĕngö [h]ri hana taya, jambhalasamādhi ngaran ikā, pūrwwasamādhi ikā||
huwus ing amĕgĕng wijilakĕn ta bāyunta, haywa karkaśa wĕtunya, dadi tang āmbĕk alilang kadi manah ni manuk wahu tĕtĕs ri hantiga, wruh ring wiśuddha ning kāya wāk citta, alilang nirmmala|| ikang āmbĕk mangkana wāgīśwarasamādhi ngaran ikā||
katon pwekang sarbwasatwa kāsyasih dening rāgādi, dadi tang āmbĕk (k)umingking haywa ning sarbwasatwa, masih tan pasangkan upakāra, ikang āmbĕk mangkana lokeśwarasamādhi ngaran ikā||
dadi tang āmbĕk makāwak bajra rodra humilangakĕn ikang sarbwaduṣṭa citta, kumingking haywa ni rāt kabeh, ikang āmbĕk mangkana bajrasatwasamādhi ngaran ikā||
dadi tang āmbĕk ādibuddha ni ratu cakrawartti huwus malahakĕn śatru śakti wĕnang aweh sakaharĕp ning sarbwasatwa, ikang āmbĕk mangkana mahāmuniwara cintāmaisamādhi ngaran ikā||
dadi tang āmbĕk (k)umingking haywa ni sarbwa[b50]satwa, utsāha ri kagawayan ing dharmma ni sarbwasatwa, ikang āmbĕk mangkana śwetaketusamādhi garan ikā||
dadi tang manah alilang ahĕning muka ring nirbbāa kadi sūryya paripūr[n]a alilang ahĕning aho nirāwaraa awā paang rahina sadākāla kumāranirbbāasamādhi garan ikā||
nihan ta muwah kayatnākna tĕmĕntĕmĕn yan ahyun amanggihakna ng kamokan|| ikang bāyu i tĕngĕn amitābha ngaran ira, ikang bāyu i kiwa amoghasiddhi ngaran ira, ikang bāyu parĕng mĕtu ratnasambhawa ngaran ira, tan wĕtu ning bāyu kiwa tĕngĕn akobhya ngaran ira, tan wĕtu ning bāyu kiwa tĕngĕn akobhya garan ira, wĕkas ning bāyu wairocana ngaran ira, kahanan ira i tungtung ning irung i rahi i uṣṇīa, wĕkas ning nirmmala śuddhiśuddhin sira kalima, sira ta sang hyang pañcarasa ngaran ira||
[a51] kunang yan ahyun ri karmmaprasara ikang bāyu i tĕngĕn atĕmah (h)anāgnimaṇḍala, trikoākāra, dumilah raktawar[n]a, madhyanya triśūla, sādhananta ri sarbwakarmma ikā||
waneh dadyakĕn mahendramaṇḍala ikang bayu i tĕngĕn apasagi, dumilah kunang war[n]anya kadi mās, madhyanya pañcaśucikabajra mĕnga, sādhananta ri wddhya ning hurip mwang ri wddhya ning sada ikā||
muwah dadyakĕn mahendramaṇḍalāpasagi, bhedanya putih tejanya, somya, bajra i tĕngah sādhananta ring kaswasthān ika||
ikang caturagramaṇḍala dadi waśīkaraa, ākaraa|| ikang uśwāse kiwa atĕmahan bāyumaṇḍala nirākāra, irĕng, ijo, kuning kunang war[n]anya, dumilah tungtung[b51]nya kalih, dhwaja cihna patākā kunang tangan i kiwa mangrĕgöp angkus kuṇḍala lwirnya: sādhananta ring ākaraa ikā, sthāmbana uccāraa kunang lāwan ta waneh dadyakĕn bāruamaṇḍala ikang uśwāse kiwa, awĕlu dumilah putih war[n]anya, madhyanya sūkma maṇḍalālit, kadi śuddha sphaika ri tĕngah pinakawar[n]anya pinakacihnanya, sādhananta ring śāntika ikā||
kunang ikang paramawiśeabāyu tan polah ning uśwāsa, kewalālilang ahĕning nirāwaraa humiĕng nirākāra ring ghrāa pradeśanya tĕka ring rahi ryy uṣṇīa śuci śuddha tan hanānggĕlĕh iriya, wairocanasamādhi ngaran ikā||
kayatnākna tĕmĕntĕmĕn sira, tan dadi dśya dening len [a52] sira bwat mangdadyakĕn pāpa yan kājar ing len, dadi mara(h) winarahakĕn ān manghanākna [kna] gurukrama iring wwang||
iti ang hyang kamahāyānikan paramasamaya mahopadeśa ikā de sang boddha, tĕngĕtĕn haywa cāwuh, wĕkas ning sangketa sira, sari ning kapaṇḍitan||
Ī! sājñā mahāmpungku tulusakna pwa sih śrī mahāmpungku ri pinakanghulun|| sang hyang diwarūpa kapwāwak bhaāra buddha de śrī mahāmpungku|| mapa pwa ling sang paṇḍita waneh? bhaāra ratnatraya mwang bhaāra pañcatathāgata sira rakwāwak bhaāra buddha, śuddha, nīla, pīt[t]a, rakta, wiśwawarnanira, dhwaja, bhūsparśa, warada, dhyāna, abhayamudrā nira|| mangkana ling sang [b52] paṇḍita waneh, ya tāngde sandigdha ri jñāna ranak mahāmpungku|| pahidhyakna ta ranak śrī mahāmpungku, marapwan hilang ikang sangśayajñāna, malya samyajñāna||
au! anakku kita ng tathāgatakula jinaputra, pahenak denta mangrĕngö|| tiga bheda ning jñāna: wāhyaka, sākāra, nirākāra|| yan bhaāra diwarūpa sira pinakāwak bhaāra hyang buddha, jñāna nirākāra kāraa nira, mwang grāhaka ri sira|| pinūjā pwa bhaāra buddha de ni jñāna sākāra śrī mānakālĕngka lwirnya: samangkana ta bhaāra hyang buddha maśarīra dewatārūpa, dadi dening krikāra śwetawar[n]a, dhwajamudrā, sira ta bhaāra śrī śākyamuni ngaran ira, [a53] SARVVADEVAGURŪCYATE, inajarakĕn guru ning sarwwadewatā|| mijil tang dewatā sakeng śarīra bhaāra śrī śākyamuni ri tĕngĕn, raktawar[n]a, dhyānamudrā, makasangkan hrikāra sira ta bhaāra śrī lokeśwara ngaran ira|| mijil tang dewatā sake śarīra śrī śākyamuni kiwa, nīlawar[n]a, bhūsparśamudrā, makasangkan brīkāra, sira ta bhaāra śrī bajrapāi ngaran ira|| sira ta katiga bhaāra ratnatraya garan ira, sira sinangguh buddha, dharmma, sanggha, sira makatatwa ng kāya, wāk, citta, sira makaśīla ng asih puyabhakti, ahyun pwa sira pūr[n]a ning tribhuwana|| mijil ta bhaāra śrī wairocana sake muka śrī śākyamuni|| mawibhāga ta bhaāra śrī lokeśwara, mijil ta bhaāra amitābha [b53] mwang bhaāra ratnasambhawa|| mawibhāga ta bhaāra śrī bajrapāi, miil ta bhaāra amitābha mwang bhaārāmoghasiddhi|| sira ta kalima sira sinangjñān bhaāra pañcatathāgata mwang bhaāra sarwwajñāna ngaran ira waneh|| mijil tang dewatā sarwwakāryyakartta sake kasarwwajñān bhaāra wairocana, lwirnya īśwara, brahmā, wiṣṇu, sira ta kinon mamaripūr[n]ākna ng tribhuwana mwang isyanya de bhaāra wairocana, donanya pagawayana kaparārthān mwang sthāna bhaāra pinūjā irikang kāla, dadi tang sthāwarajanggamādi|| swargga hibĕkan dewatādi marttyapada (h)ibĕkan mānuādi, pātāla hibĕkan nāgādi de bhaāreśwara brahmā [a54] wiṣṇu, ya ta matangnyan sarwwakāryyakartta sira, nora tan kahanan ira, ndān dinadyakĕn de ni kasarwwajñan bhaāra śrī wairocana, kang sarwwakāryyakartta bhaāra īśwara brahmā wiṣṇu|| mangkana kahiĕpan bhaāra sarwwajñā dening sākārajñāna, pinūjā sira ring pañcopacāra jñānatatwa|| kahiĕp (p)wa sira dening wāhyakajñāna sang hyang arcca pratimā pĕa śākali, pinūjā ring pañcopacāra wāhya|| kalinganyānak[k]u: bhaāra diwarūpa sira dadi bhaāra ratnatraya, matĕmahan bhaāra pañcatathāgata|| pañcatathāgata mangdadyakĕn pañceśwara, pañceśwara mangdadyakĕn brahmari, brahmari mangdadyakĕn sarwwajanma dewatādi|| pahenak ta manahta, haywa sangśaya!
[b54] nihan tang tatwawiśea muwah pawaraha mami ri kita, krama ni pañcaskandha ri sang yogīśwara: rūpa, wedanā, sañjñā, sangskāra, wijñāna||
RŪPA VAIROCANA JÑEYA VEDANĀ RATNASAMBHAVA
SAJÑĀŚ CA AMITĀBHAŚ CA SASKĀRĀMOGHASIDDHIDA
AKOBHYO VIJÑĀNA JÑEYA PAÑCASKANDHAŚ CA UCYATE
PAÑCĀGAPAÑCABODHIŚ CA PAÑCATATHĀGATĀTMAKA||
ka: ang hyang wairocana rūpa|| rūpa ngaranya: kulit, daging, otwat, tahulan, rāh, wuduk, sumsum, ya rūpa ngaranya||
ang hyang ratnasambhawa wedana|| wedana ngaranya: ikang manghiĕp sukaduka ya wedana nga||
ang hyang amitābha sañjñā|| sañjñā ngaranya: nāma, nāma ngaranya: aran; ya sañjñā ngaranya||
[a55] ang hyang amoghasiddhi sangskāra|| sangskāra ngaranya: ikang ginawe hetu mwang ginawe pratyaya, ya sangskāra ngaranya||
ang hyang akobhya wijñāna|| wijñāna ngaranya: samyajñāna|| samyajñāna ngaranya: pratyakānumāna; ya wijñāna ngaranya||
skandha ngaran ing śarīra, pañca ngaran ing lima, ya ta sinangguh śarīra lima ngaranya|| mangkana tatwa ning pañcaskandha ri sang yogīśwara||
nihan krama ning wijākara mangdadyakĕn pañcatathāgata: a, hū, tra, hrī, a||
VAIROCANAN TU AKĀRA, HŪKĀRA AKOBHYAS TATHĀ
TRAKĀRA RATNASAMBHAVA HRĪKĀRAÑ CA AMITĀBHO||
ka: akāra wijākara ang hyang wairocana, hūkāra wijākara ang hyang akobhya, trakāra wijākara ang hyang ratnasambhana, hrīkāra wijākara ang hyang [b55] amitābha, AKĀRĀMOGHASIDDHIDHA, akāra wijakara ang hyang amoghasiddhi||
nahan wijākarāmijilakĕn pañcabuddha||
nihan tingkah bhaāra buddha makāwak trikhala|| trikhala ngaranya: rāga dwea moha, kāntarbhāwerikā tang dambha, īryā, mātsaryya||
RĀGĀMITĀBHO VIJÑEYA DVEAŚ CĀKOBHYABAJRADK
MOHA VAIROCANAŚ CĀPI TRIRŪPABHĀVANTA TATA||
ka: ikang rāga, ang hyang amitābha tatwa nira, ikang dwea ang hyang akobhya tatwa nira, ikang moha wairocana tatwa nira, ya ta sinanggah trikhala de sang yogīśwara|| kāraa ning walwiwalwi ring tribhāwa ikang rāga dwea moha; tribhāwa ngaranya bhāwacakra||
nihan tatwa ning trimala ri sang yogīśwara:
ARTHA ŚĀKYAMUNI DIKA KĀMA LOKEŚVAROCYATE
ŚABDA BAJRAPĀI JÑEYA TRIMALA YOGISANMATĀ||
[a56] ka: artha śrī śākyamuni tatwa nira, kāma śrī lokeśwara tatwa nira, śabda śrī bajrapāī tatwa nira|| ikang artha kāma śabda ya ta inajarakĕn trimala de sang yogīśwara||
RĀGADVEAMOHO BUDDHA ARTHAKĀMAŚABDĀTMAKA
DHARMMASUSMTIBHĀVĀYA SMTE SYĀT DUKHADHĀRAĀT||
ka: bhaāra buddha sira makatatwa ng rāga dwea moha, makāwak artha kāma śabda sira, ka: trikhala sira trimala sira|| paran don ira n makāwak trikhala trimala? makadon dadya ni smti marmma ning dharmma, makanimitta smti ring dharmma, dadi makasangkan kadhāraān ing duka, ya ta hetu nira n patĕmahan trikhala trimala, duka hetu nika, marapwan ikang rāt kabe mahyun angolahakna ng dharmma, sādhananyan umanggihakna ng inak [b56] ambĕk||
BUDDHO ŚĀKYAMUNI VĀDVĀN DHARMMO LOKEŚVARA PRABHU
SAGHO BAJRAPĀI JÑEYAS TRIRATNAN TU VIDHĪYATE||
ka: ang hyang śrī śākyamuni paramārtha ang hyang buddha tatwa nira, śrī lokeśwara ang hyang dharmma tatwa nira, śrī bajrapāi āryya sanggha tatwa nira|| sira ta sinanggah bhaāra ratnatraya ngaran ira|| wairocana, amitābha, akobhya ratnatraya ngaran ira|| wairocana, ratnasambhawa, amoghasiddhi ratnatraya sira muwah||
nihan tatwa ning trikāya: kāya, wāk, citta||
KĀYO VAIROCANAŚ CĀPI VĀK CĀMITĀBHO VIJÑEYA
CITTAM AKOBHYABAJRAŚ CA TRIKĀYANĀMASANMATA||
ka: ang hyang wairocana kāya; sarwwamudrā sarwwalakaa, ya kāya ngaranya||
[a57] ang hyang amitābha wāk|| wāk ngaranya: sarwwaśabda makādi mantra wijākara, ya wāk ngaranya||
ang hyang akobhya citta|| sarwwajñāna ya citta ngaranya|| ya ta matangnyan bhaāra ratnatraya sira trikāya, ling sang yogīśwara||
nihan tatwa ning triparārtha kawruhana, triparārtha ngaranya: asih, puya, bhakti||
ASI VAIROCANO JÑEYA PUYAŚ CĀMITĀBHAS TATHĀ
BHAKTIŚ CĀKOBHYABAJRADK TRIPARĀRTHĀNIGACYATE
ka: bhaāra wairocana sira asih|| asih ngaranya: sang kumawaśākĕn caturpāramitā, ya asih ngaranya||
bhaārāmitābha puya|| ikang lumaku satatānūt rasa [b57] ning āgama, matĕguh rumaka tapa brata sangskāra mwang buddhaśāsana tan kawanĕhan mangulahakĕn dharmma, ya sinangguh bhakti ngaranya||
ikang asih puyabhakti, ya triparārtha paramārtha ngaranya, makatatwa ng ratnatraya||
nihan tatwa ning pañcadhātu ri sang yogīśwara|| pañcadhātu ngaranya: pthiwī, āpa, teja, bāyu, ākāśa||
PTHIVĪ DHĀTUR BUDDHAŚ CA ABDHĀTU RATNASAMBHAVA
TEJODHĀTUŚ CĀMITĀBHO VĀYUŚ CĀMOGHASIDDHIDA
ĀKĀŚADHĀTUR AKOBHYA ETĀNI PAÑCADHĀTUNI
SATVENA PĀÑCADEHAŚ CA PAÑCATATHĀGATĀTMAKĀ||
ka: ang hyang wairocana sira buddha, sira pthiwīdhātu|| ikang abwat ya pthiwī ngaranya||
ang hyang ratnasambhawa āpadhātu|| ikang drawa swa[a58]bhāwa, ya āpa ngaranya||
ang hyang amitābha tejadhātu|| ikang laghu swabhāwa, ya tejadhātu ngaranya||
ang hyang amoghasiddhi sira bāyudhātu|| ikang wala(?) swabhāwa, ya bāyudhātu ngaranya||
ang hyang akobhya ākāśadhātu|| ikang taya swabhāwa, ya ākāśa ngaranya||
nahan krama ang hyang pañcatathāgata matĕmahan pañcadhātu||
ikang pañcadhātu ya ta pañcadeha dening sarbwasatwa, lwirnya: pthiwī pinakadaging, kulit, otwat, tahulan|| āpa pinakarā, wuduk, sumsum, reta ślema|| teja pinakapanon|| bāyu pinaka uśwāsa|| ākāśa pinakalĕpa ning śarīra, pinakaroma|| mangkana lwir ning pañcamahābhūta pinakā[b58]wak ning sarbwasatwa; saha kalāwan guanya pinakaśarīra: pthiwī makagua ng gandha, āpa makagua ng rasa, teja makagua ng rūpa, bāyu makagua ng spara, ākāśa makagua ng śabda|| ya ta hetu ning purua kinahanan dening rūpa, rasa, gandha, sparśa, śabda, āpan makāwak pañcadhātu||
nihan krama ang hyang tathāgata patĕmahan pañcarūpaskandha|| pañcarūpaskandha ngaranya: kalala, arwuda, ghana, peśi, praśaka||
KALALA BAJRASATVAŚ CA ARVUDHA RATNASAMBHAVA
GHAĀMITĀBHO VIJÑEYA PEŚI AMOGHASIDDHIDA
VAIROCANA PRAŚĀKĀYA PAÑCARŪPĀTMASAMBHAVA
PAÑCĀKĀRAVIABODHE PAÑCATATHĀGATĀ MATĀ||
ka: ang hyang akobhya kalala|| kalala ngaranya: pilapilu|| [a59] ang hyang ratnasambhawa arwuda|| arwuda ngaranya: wĕrĕh||
ang hyang amitābha ghana|| ghana ngaranya: daging akandĕl, kady anggan ing goh gawayādi||
ang hyang amoghasiddhi peśi|| peśi ngaranya: daging alamĕd, kady anggan ing pipīlikādi||
ang hyang wairocana praśaka|| praśaka ngaranya: matangan, masuku, mahulu, kady anggan ing mānua dewatādi||
nahan krama ang hyang pañcatathāgata patĕmahan pañcarūpa skandha, ya pañcākāra wisabodhi||
nihan krama ning pañcatathāgatajñāna ri sang hyang kamahāyānikan||
ŚĀŚVATAJÑĀNABUDDHAŚ CA ADARŚAJÑĀNĀKOBHYAŚ CA
SAMATA RATNASAMBHAVA KTYAÑ CĀMOGHASIDDHIDA
PRATYAVEKAA VIJÑEYO LOKEŚVARA PARASUKHA
ETĀNI PAÑCAJÑĀNĀNI GUHYAÑ CA PARIKĪRTYATE||
[b59] ka: ikang niprapañcajñāna kinahanan dening ātmaniyābhiniweśa, ya tika śāśwatajñāna ngaran ikā, jñāna bhaāra wairocana ika||
ikang prabhāswarajñāna, jñāna lumĕng kadi teja sang hyang āditya, ya adarśanajñāna ngaranya, jñāna bhaārākobhya ikā||
ikang jñāna grāhyagrāhakarahita, tan panggĕgö, tan panggĕgö awaknya, ya ākāśamatajñāna ngaranya jñāna bhaāra ratnasambhawa ikā||
ikang jñāna sarbwadharmmanairātmya, humiĕp śūnyatā ning sarbwadharmma nityadā, ya pratyawekaajñāna ngaranya, jñāna bhaārāmitābha ikā||
ikang jñāna wyāpāra ring sarbwakriyā sarbwa hana taya, ngūniweh byāpāra polah ning awak ya tikā ktyānu[a60]ṣṭhānjñāna ngaranya, jñāna bhaārāmoghasiddhi ika||
matangnyan karmmakuli ngaran ang hyang amoghasiddhi ri de nira n byāpāra ri sarbwakarmma||
nahan prabheda ning pañcajñāna de sang yogīśwara, paramarahaya ika||
nihan krama ning pañcatathāgatadewī, lwir nira: bharālī dhātwīśwarī, bharālī māmakī, bharālī pāṇḍarawāsinī, bharālī tārā|| nahan pratyeka nira n pañca||
DHĀTVĪŚVARĪ MAHĀDEVĪ VAIROCANAPATI JÑEYĀ
LOCANĀKOBHYAPATIŚ CA DHĀTVĪŚVARĪLOCANEKA||
MĀMAKĪ RATNASAMBHAVAṆḌARAVĀSINĪDEVĪ
AMITĀBHAPATI JÑEYAS TĀRĀMOGHASIDDHIPRIYĀ||
ka: bharālī dhātwīśwarī sira ta dewī lĕwih makaswāmi [b60] bhaāra wairocana|| bharālī locanā makaswāmi bhaārākobhya|| bharālī dhātwīśwarī mwang bharālī locanā tunggal tatwa nira, ya ta matangnyan caturdewī ikang dewī sumahakāryya ni(ra) bhaāra wairocana, makajñāna śāśwatajñāna, sarwwajñārūpa, lwir nira: satwabajrī, ratnabajrī, dharmmabajrī, karmmabajrī|| nahan lwir ning caturdewī pariwāra bhaāra wairocana|| sira ta kawaśākna kasewitan ira de sang sādhaka, marapwan enggal kapanggih ikang kawairocanan|| bharālī māmakī dewī bhaāra ratnasambhawa|| bharālī pāṇḍarawāsinī dewī bhaārāmitābha|| bharālī tārā dewī bhaārāmoghasiddhi|| nahan krama bhaāra pañcatathāgata saha dewī||
[b61] nihan tang wijākara mangdadyakĕn caturdewī: e, wa, ma, ya||
EKĀRA MĀMAKĪ JÑĒYA VAKĀRA RATNASAMBHAVA
MAKĀRA TĀRAYA SMTA YAKĀRA LOCANĀ PUNA||
ka: ekāra wijākara bharālī māmakī, wakāra wijākara bharālī pāṇḍarawāsinī, makāra wijākara bharālī tārā, yakāra wijākara bharālī locanā, puna muwa ikang yakāra wijākara bharālī dhātwīśwarī||
nahan krama ning caturdewī wijākara:
MAITRĪ LOCANĀ VIJÑEYĀ MĀMAKĪ KARUĀ MATĀ
MUDITĀ PĀṆḌARAVĀKYĀ UPEKĀ TĀRAYASMTĀ||
ka: bharālī locanā metri tatwa nira|| ikang āmbĕk asih tan makasangkan pratyupakāra ya maitrī ngaranya|| bharālī mā[b61]makī karuā tatwa nira|| ikang āmbĕk duka mulat ri lara ning sarbwasatwa, lumĕkas ta ya manulung, ya karuā ngaranya|| bharālī pāṇḍarawāsinī muditā tatwa nira|| ikang āmbĕk suka tumon suka ning sarbwasatwa, ya muditā ngaranya|| bharālī tārā upekā tatwa nira|| ikang āmbĕk nirmmala manganumoda suka nikang sarbwasatwa, tan mengĕt wehana suka, mwang arwā pūjāstuti dening satwa manĕmu suka, tan mengĕt, tan melik, tan gĕmyan, kewala humĕnĕng mulat juga niparigraha jāti nikā, ya upekā ngaranya, ya tikā makatatwa ng bharālī tārā||
nā maitrī karuā muditā upekā caturdewī tatwa nira, ling sang yogīśwara||
EVA BODHISAMADHYOTTA SARBVAMUDRĀTATHĀGATA
SUGUHYATOPITA JÑEYO BUDDHACĀRYYAVICAKANAI||
[a62] ka: ikang kājaran ing bodhi samādhi mwang ikang sarbwamudrā pinakalakaanta mwang ikang tathāgata inangĕnangĕnta, mwang ikang paramaguhya tathāgata niyata ikā kawruhana de sang buddhacāryyawicakaa, ka, ikang mahābodhi, ikang samādhi, ikang sarbwamudrā mantra yoga bhāwanā mwang kawicakaan ya tikāwak ning caturdewī locanā, pāṇḍarawāsiī, māmakī, tārā|| iti caturdewī kawruhana haywa tan prayatna, paa pawitra nira mwang bhaāra hyang buddha, apan tan kapanggih bhaāra hyang buddha yan ta kapaggih pāwak ning caturdewī de sa yogīśwara||
ī! iti sang hyang kamahāyānan||

2 komentar:

  1. kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
    berikan 4 angka alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI REHAN,,di no ((( 0853 7778 4848 )))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
    juta, wassalam.


    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....




    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..


    Solusi yang tepat jangan anda putus asah.... AKI REHAN akan membantu
    anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
    butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
    100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: AKI REHAN: ((( 0853 7778 4848 )))
    angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/


    angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/


    angka GHOIB; malaysia


    angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/


    angka GHOIB; laos

    BalasHapus
  2. Sangat menginspirasi tapi sayang warna teksnya sukar dibaca.

    ___
    Berita

    BalasHapus