Selasa, 15 April 2014

CANDRA BERAWA DG AJIAN BAJRA DARA



 Dikisahkan pula Dewi Kunti yang melahirkan Karna dan Pertemuan Pandu dengan Kunti, Madrim dan Gandhari

Kisah sebelumnya 
Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma

 Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.

Narasoma dan Pujawati telah menetap di Mandaraka, kehadiran mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati. Pujawati sangat bersuka cita, kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan istana yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi Tejawati ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya, mereka selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.

Pada suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu Mandrapati memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua, seakan ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.

"Narasoma, saat ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin menikahkan putrinya, namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap dan tangguh untuk dijadikan menantu, maka dari itu ia berencana akan menggelar sayembara. Kepada siapa saja yang dapat memenangkan sayembara, Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunti Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam darah kita mengalir juga darah mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu ayahanda ingin ananda mengikuti sayembara agar jalinan kekerabatan kita menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya, ananda akan dapat memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai putra mahkota Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."

Narasoma tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan bingung, sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka Dewi Kunti akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi ia sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati, tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba menjelaskan kepada ayahandanya.

"Ampun ayahanda prabu, sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati. Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah tidak akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai seorang kesatria, ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu, bukannya ananda menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya tidak ingin menduakan Pujawati dengan siapapun."

Prabu Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau mengikuti sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih, membuat Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti kepada orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar dan punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat prihatin dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba melihat suaminya terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang selalu menangis di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun mengurusi ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi pengobatan.

Narasoma hanya bisa tertunduk di samping pembaringan ayahandanya. Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda, ibunda, adik dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung sembuh, maka Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia berbisik kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti sayembara. Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.  

Mandura (Mathura)
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari  Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.

Alkisah, sebenarnya sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.

Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti menerima japa mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah memberi amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang, rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.

Ketika itu Dewi Kunti sedang menyendiri di taman Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.

"Apa yang kau inginkan dariku, dewi?"

Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Batara Surya.

"Hamba hanya mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."

"Tapi kau telah membacakannya ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."

Sejak saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.

Untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunti akan melahirkan putra pertamanya dari Batara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunti melalui telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunti tetap terjaga.

Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga). Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan Hastinapura.

Salimbara (Sayembara)
Negeri Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh  mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi Kunti Nalibrata.

Singkat cerita, satu persatu para kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara mencoba memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada celah-celahnya.

Kegagalan para peserta sayembara sempat membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara digelar, namun belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan. Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?

Narasoma melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar, yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh, menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.

Narasoma dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang telah memenangkan pertempuran di medan perang. Setelah semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara datang tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.

"Siapa gerangan kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"

"Perkenalkan, nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura. Kedatangan kami tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti Nalibrata."

Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. ternyata kalian dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra mahkota Mandaraka."

Para putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat, namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma menahannya.

"Jika paduka berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpNdCYFygG4JXN_Z3kQ9mtOHh6_1wKtGeItAQX2eIWuQNPpXgn5I9Q62YEXUZQpQM-MCqbCCpToRhnbDoYQP_wkJPOODfl9h6LhIdXvc24_41ukab1XU4Jm26MmeVdQ_ArXCpKNcYClxG3/s320/basukunti-narasoma-pandu.jpg

Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji ketangguhan putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah tersohor keberbagai negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah disegani kawan dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang sama dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.

"Apa maksudmu Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah peraturan!"

"Kalau begitu, biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunti Nalibrata telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunti."

Prabu Basukunti sangat tersinggung dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah menjadi haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir baik.

"Aku memberi kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya, maka negeri Hastina menjadi negeri taklukan Mandaraka."

Semua yang hadir terkejut mendengar perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi  para kesatria Kuru masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.

"Kedatang kami ke Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan perkara."

Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.

"Apa kau takut menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang tersohor itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Baharata. Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak membekalimu?

Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya, agar sang kakak bisa menahan emosi.

"Apakah kau membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan Narasoma.

"Aku tidak pernah menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak menolak!"

Masih disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri di tengah gelanggang, gondewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman. Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.

Narasoma tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.

Saat menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma. Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura, ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan terus terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.

"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"

"Pertaruhan kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."

"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."

Keduanya lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.

Perang semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.

"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang teguh janjimu, Narasoma..."

Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang resi membisikan langsung kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring yang terlihat menyeramkan.

"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"

Raksasa Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.

Cras! Cras! Cras!

Beberapa kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! setiap percik darah yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya, tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit, menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian Chandrabirawa karena akan semakin bertambah banyak.

"Duuh... ayahanda Resi Abyasa... ayahanda Bhisma... putramu keteteran menghadapi musuh-musuh ini..."
Pandu membatin. Ia merasa putus asa menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tunggal.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0lPUWNdtpGnEP0dU-nIS_z6rWfTvRKfhh0eNPR8lB_XEm9V8V_J41_aFJtkNzw077IZDEAy4wx9PUQbB12mHunAW-v0Mc5TyVjGUbZYJ81HBWa2YRZzmNdmo89CJRCIg-kKeHDSejZb56/s320/pandu+vs+candrabirawa.jpg

Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.

Chandrabirawa melesat kembali masuk ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke Hastinapura.

Pandu beserta rombongan kembali melakukan perjalanan pulang ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgT6EUbLnpcXZBi7uTu9LIXKdmpEbNdHzj9dq5cS7fdh7UC38EAn5DctL_pPoaYI2ZMKO5tq57fF9npl7fiWnHJkrMhq6WT8kfG_uNe4lQRcV4MiuV0PqawKHXkXiF7zqEKNRe77YZSWN36/s320/sengkuni-pandu.jpg


Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding, tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji akan memboyong kakaknya,  Dewi Gandhari ke Hastinapura.

"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"

Hastinapura mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa dalam memenangkan sayembara.

Untuk menghargai Destarata sebagai putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.

Dewi Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri, menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.

Pandu Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Krisna Dwipayana) yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.

Sementara, Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi raja Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi lima orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa. Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.

PANGERAN PARIKESIT DAN DEWI KUNTI



Kisah Parikesit dan Dewi Kunti: Pencarian dan Keyakinan Seorang Bhakta

Dewi Drupadi histeris, lima putra dan semua saudaranya terbunuh pada malam hari selagi tidur seusai perang Bharatayuda. Aswatama telah membunuh seluruh keturunan Pandawa yang masih hidup, sebagai balas dendam atas kematian Drona, ayahandanya, yang menurutnya dilakukan Pandawa dengan penuh tipu muslihat. Arjuna bersama Sri Krishna mengejar Aswatama yang bersembunyi di pertapaan Abyasa, kakek para Pandawa dan Hastina. Saat Arjuna menemukan Aswatama, mereka berperang tanding. Akhirnya, Bramastra, senjata Brahma, senjata sangat canggih dari Aswatama dilepaskan. Arjuna merasakan bulu kuduknya meremang, dan diingatkan Sri Krishna untuk segera melepaskan senjata yang sama.

Saat kedua senjata mengudara, Abyasa berteriak menggelegar, “Batalkan segera arah senjata-senjata itu, apabila sempat bertemu dunia akan musnah dan kalian berdua harus menanggung akibatnya! “Arjuna dapat mengendalikan dan menarik kembali senjatanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Aswatama, dia belum mahir mengendalikan senjata tersebut dan agar tidak kembali dan membunuh dirinya maka senjata itu diarahkannya ke calon cucu Pandawa yang masih berada dalam kandungan, agar habis anak keturunan Pandawa.

Dewi Utari merasa ada sebuah gumpalan energi gelap mengejar dan mengancam kehidupan kandungannya dan dia memanggil nama Sri Krishna. Dewi Utari merasakan bahwa Sri Krishna memintanya duduk diam, menutup mata dan berdoa. Dewi Utari merasakan kedamaian, dan dalam bayangannya Sri Krishna telah masuk ke dalam kandungannya menunggu bramastra datang, kemudian menangkap dan membawa senjata itu keluar dari tubuhnya. Ada rasa kelegaan setelah bahaya yang mengancam bayi dalam kandungannya hilang. Bayinya telah diselamatkan Sri Krishna.

Aswatama kalah berperang tanding dengan Arjuna dan akhirnya diikat dengan tali dan digelandang secara memalukan. Sudah sepantasnya, karena dia telah membunuh putra-putra Pandawa di malam hari tanpa memperhatikan etika. Ternyata Drupadi minta Aswatama dilepaskan, dia ingat bahwa  ibu Aswatama akan merana bila dia dibunuh. Rupanya Drupadi telah dapat merasakan kesedihan seorang ibu yang putranya terbunuh. Arjuna berada dalam dilema, Drupadi, Yudistira dan kedua adiknya nampak mengharapkan agar Aswatama dilepaskan, sedangkan Bhima yang marah nampak mengharapkan dia untuk membunuh Aswatama. Arjuna memandang Sri Krishna yang tersenyum, seakan menunggu kebijakan apa yang akan dilakukan oleh dirinya. Arjuna paham maksud Sri Krishna, dan Arjuna memotong rambut kebrahmanaan Aswatama, mengambil permata di dahinya, dan mengusir Aswatama.  Sebuah solusi yang tepat. Nampak kelegaan pada wajah Bhima maupun yang lainnya. Akan tetapi bagi Aswatama itu adalah sebuah penghinaan yang amat keji. Menurut dia lebih baik dibunuh daripada diperlakukan sedemikian tidak hormat. Dia pergi dan dalam hati bertekad, “Ada suatu masa dimana anak keturunanku di Arwa Sthan menaklukkan negara anak cucu kalian!”

Kala Dewi Utari melahirkan, bayi putra almarhum Abimanyu tersebut diberi nama Wisnurata, karena dia telah dilindungi “Sang Wisnu” dan merupakan hadiah bagi kelangsungan dinasti Bharata. Akan tetapi Sri Krishna memanggilnya sebagai Parikesit, karena sejak masih dalam gendongan ia selalu memeriksa setiap orang yang ditemuinya, apakah orang yang ditemuinya adalah Sri Krishna yang menyelamatkannya ketika masih berada dalam kandungan ibunya atau bukan.

Parikesit begitu berbahagia kala melihat Sri Krishna, dan tanpa ragu tubuhnya bergerak-gerak dan menangis, minta dipangku Kakek Krishna. Suasana begitu hening, ada keharuan tak terkatakan saat Sri Krishna menggendong Parikesit. Semua orang di tempat kejadian tersebut menahan napas, dan air mata mereka meleleh tanpa henti menyaksikan luapan kasih antara seorang bayi dengan Sri Krishna. Bulu kuduk mereka meremang menyaksikan pertemuan antara dua jiwa suci. Isak tangis tertahan-tahan sahut-menyahut membangkitkan suasana haru. Mata bayi Parikesit dan Sri Krishna berkaca-kaca.

Beberapa hari setelah kelahiran Parikesit, Sri Krishna mohon pamit untuk kembali ke Dwaraka negara yang telah beberapa lama ditinggalkannya. Malam hari sebelum keberangkatan dirinya, Sri Krishna ditemui Dewi Kunti, adik dari ayahanda Sri Krishna. Adalah Dewi Kunti, ibu dari Pandawa yang menemuinya secara khusus. Dewi Kunti, adalah seorang wanita lansia yang telah menjadi nenek buyut dengan kelahiran Parikesit. Putra sulung Dewi Kunti, Yudistira pun sudah  tua. Akan tetapi gurat kecantikan dan ketabahan dalam menghadapi berbagai  penderitaan masih nampak yang membuat wajah Dewi Kunti nampak tegar dan dipenuhi sinar kasih.

Nampaknya sudah begitu lama, tumpukan kegelisahan yang ingin disampaikan kepada Sri Krishna tertahan oleh perasaan sungkan, dan kini ada kesempatan untuk mengungkapkannya. “Sri Krishna, aku adalah seorang yang bodoh, aku belum belajar Weda dan Brahmawidya, akan tetapi aku mengetahui kebenaran bahwa Engkau adalah Iswara, Tuhan yang mewujud. Engkau telah menyelamatkan putra-putraku berkali-kali. Engkau tahu bahwa Karna, putraku adalah seorang kesatria sejati yang pilih tanding, akan tetapi belum selaras dengan kebiasaan Pandawa yang sederhana. Engkau biarkan dia mati untuk menjunjung derajat kekesatriaanya, dan dikalahkan oleh putra tersakti sejagad, Arjuna. Putra-putra kami mendapatkan kerajaan kembali karena Engkau. Kala putra-putraku dalam kesusahan Engkau selalu datang membantu. Bahkan aku tahu, kala Drupadi dipermalukan oleh para Korawa, dan dia tidak dapat meminta tolong pada Pandawa maupun  Bhisma Putra Gangga, maka dia berteriak memanggil nama-Mu dan keajaiban terjadi, kainnya yang dilepaskan oleh Dursasana tak bisa habis karena kekuatan-Mu. Dia selamat karena dilindungi oleh-Mu”.

“Krishna ijinkan aku minta satu anugerah dari-Mu, semoga kesulitan demi kesulitan datang padaku agar aku selalu mengingat diri-Mu. Orang-orang bangsawan yang dilahirkan kaya dengan derajat yang tinggi mudah melupakan-Mu. Mereka cerdas mengetahui Weda akan tetapi diri mereka penuh ego dan angkuh karena kelebihan mereka. Aku percaya bahwa kau dilahirkan ke dunia untuk memenuhi janji-Mu bagi Sutapa dan Prisni. Engkau lahir untuk meringankan bunda bumi yang merasa terlalu berat dibebani adharma yang merajalela. Sri Krishna, tolong berilah aku pikiran untuk selalu terarahkan kepada-Mu. Seperti Sungai Gangga  mengalir dengan tulus ikhlas ke samudera dan tidak tertambat dengan berbagai keindahan di perjalanannya.” Dan perempuan sepuh tersebut berlutut dan menyembah kaki keponakannya.

Dewi Kunti terpanggil swadharmanya untuk mendampingi Pandawa di kala mereka mendapat kesusahan hidup. Setelah mereka menang perang Dewi Kunti tak ingin menikmati kesenangan duniawi. Selama masih menginginkan kesenangan duniawi, berarti dia belum sepenuhnya pasrah kepada Tuhan. Adanya keinginan duniawi menghambat keberadaan Tuhan di dalam diri. Dengan pasrah pada Tuhan, kehidupannya di dunia pun akan menjadi tanggungan-Nya. Sri Krishna segera mengangkat tubuh bibinya, dan berkata pelan, “Semoga demikian Bibi Kunti”. Dan butiran-butiran air mata jatuh dari kelopak mata Dewi Kunti dan Sri Krishna. Butiran air mata seorang  Awatara yang membasahi bunda bumi, dan menghidupkan semangat bunda bumi. Seakan-akan Sri Krishna memberkati bahwa setelah kepulangannya ke Dwaraka, Dewi Kunti akan meninggalkan istana, hidup sebagai Sanyasi di hutan, mendekatkan diri pada Tuhan sampai maut menjemputnya. Tubuh Dewi Kunti boleh tua dan memang harus mengalami ketuaan, tetapi semangatnya untuk mengabdi kepada Tuhan selalu muda. Karena Dewi Kunti, begitu yakin dengan kebijakan Sri Krishna, Dia yang bersemayam dalam hati nurani umat manusia. 
Kisah Parikesit: 7 Hari Menjelang Kematian

Kala itu Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan, pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi. Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.

Di dalam salah satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”

Saumika, sang resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak, peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni  pemahamanmu yang belum matang ini.”

Sang resi berkata dengan penuh kewibawaan, “Akibat kemarahan, kau telah melupakan swadharma seorang brahmana. Kewajiban brahmana adalah untuk memaafkan. Kau tidak dapat menarik kutukanmu. Setelah berpulang, sang maharaja akan dikenang sepanjang zaman, sedangkan kau, apakah ada yang masih mengingatmu setelah kau mati nanti?” Sang putra menangis penuh penyesalan, “Baik ayahanda, kami mohon ampun atas kesalahan kami, kami akan segera pergi ke istana dan mohon sang baginda mengetahui kutukan kami dan agar beliau dapat mempersiapkan diri.”

Sesampai di istana Raja Parikesit merasa menyesal, mengapa melakukan tindakan yang tidak perlu. Dirinya telah menganggap sang resi yang sedang bermeditasi angkuh, padahal dirinyalah yang angkuh. Orang menjadi tidak adil karena keangkuhannya. Rasa angkuh membuat orang menjadi keras kepala, merasa benar sendiri. Raja Parikesit sadar, bila keadaan ini dibiarkan makin lama ia menjadi makin keras dan akan bertindak tidak adil untuk mempertahankan pendapatnya.

Tidak beberapa lama, Sringi, putra resi yang yang dilecehkan sang maharaja datang dan menangis di hadapan sang maharaja dan mengatakan kesalahannya karena telah terlanjur mengutuk sang maharaja. Entah kekuatan apa yang membuat maharaja Parikesit memeluk Sringi, “Wahai putra resi, adalah keberuntunganku aku kau kutuk, sehingga aku tidak harus menanggung kesalahanku di kehidupanku mendatang karena telah berbuat tidak sopan dengan orang suci. Kau adalah utusan Tuhan, untuk menyampaikan berita yang tidak mungkin disampaikan oleh manusia biasa. Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana kuhadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku.”

Seandainya manusia tahu bahwa satu minggu lagi dia akan mati, dan dia boleh melakukan apa saja, maka tindakan apa yang perlu diambil? Sebuah pertanyaan yang menantang pikiran. Tetapi pikiran tetap tak dapat memutuskan yang terbaik, karena pikiran selalu diliputi keraguan. Sebuah jawaban akan disangkal yang lain. Manusia perlu belajar bagaimana maharaja Parikesit memutuskan mengambil tindakan apa saja sebelum kematiannya.

Sang maharaja segera menobatkan putranya sebagai raja pengganti. Dan, selanjutnya, dirinya pergi ke tepi Sungai Gangga. Para brahmana menghormati sang raja, karena meniru Pandawa, para kakeknya yang meninggalkan istana untuk mempersiapkan kematian. Akan tetapi mereka tidak dapat memberikan solusi yang tepat apa yang harus dilakukan Parikesit yang akan mengalami kematian dalam tujuh hari ke depan. Kejujuran dan ketidakpahaman tentang apa yang harus dilakukan menjelang kematian serta kepasrahan kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa menggerakkan Resi Shuka, Putra Bhagawan Abiyasa mendatangi Parikesit. Resi Shuka dengan pancaran ketuhanannya menemui Parikesit di tepi Sungai Gangga.

Bhagawan Abyasa mempunyai tiga putra, tokoh-tokoh Dinasti Bharata, yaitu Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura. Pandu Dewanata adalah kakek buyut Parikesit. Akan tetapi Bhagawan Abyasa juga mempunyai seorang putra yang berasal dari permohonannya kepada Hyang Maha Kuasa, yang diberi nama Shuka. Shuka yang masih muda bisa dikatakan adalah kakek buyut Parikesit. Banyak yang percaya bahwa Bhagawan Abyasa adalah seorang “chiranjiwin”, seorang yang dikaruniai umur panjang. Dan, hal tersebut adalah wajar karena dia menyusun Weda, kisah Mahabharata dan Srimad Baghawatam yang masih menjadi panduan bagi umat manusia. Selama buah pikirannya masih dipakai maka pikiran Sang Bhagawan masih menyertainya. Setelah kematian ketiga putranya, Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura yang merupakan para kakek buyut Parikesit, Bhagawan Abyasa mohon kepada Hyang Maha Kuasa untuk memberinya putra dengan kualitas yang sempurna. Pada suatu saat, kala Bhagawan Abyasa sedang menggesekkan kedua kayu arani untuk membuat api suci dalam ritual persembahan “agni homa”, dia sekelebat melihat hapsari cantik Ghritaci. Sang Bhagawan tahu bahwa terpikat pada seorang Hapsari dapat membuat banyak permasalahan seperti yang pernah dialami nenek moyang dinasti Bharata. Maka Sang Bhagawan terus melanjutkan ritualnya. Sang Hapsari juga takut dikutuk sang resi dan mengubah wujudnya sebagai burung Shuka, sejenis burung beo. Dari api suci itulah lahir Shuka. Kita masih ingat bahwa Bhagawan Abyasa menguasai Weda, sehingga dia pun pernah mengubah segumpal daging menjadi seratus Korawa, sebuah pengetahuan tentang kloning yang dikuasai dengan sempurna. Sang Bhagawan juga membuat Sanjaya, putra Widura dapat melihat perang Bharatayudha dan melaporkan pandangan mata langsung secara detail kepada Drestarastra. Kita juga masih ingat bahwa Dewi Kunti mempunyai mantra pemberian Resi Durwasa untuk melahirkan Yudistira, Bhima, Arjuna dan Karna dari elemen alami. Ilmu pengetahuan sudah sangat maju pada zaman itu.

Putra adalah keturunan. Buah pikiran kita juga merupakan anak hasil pikiran dan kesadaran kita. Shuka adalah putra dari hasil pikiran dan kesadaran Sang Bhagawan. Shuka putra dan murid dari Bhagawan Abyasa ini mempunyai ingatan yang sempurna yang mampu memahami Srimad Bhagawatham secara utuh. Julukan Shuka, sebenarnya dapat merujuk kepada memori sempurna. Shuka adalah jiwa yang diwujudkan dengan kelahiran.

Shuka bahkan lebih sempurna dari Bhagawan Abhiyasa, karena Shuka adalah putra ideal dari pikiran Sang Bhagawan.  Konon ketika Shuka melewati beberapa gadis yang sedang mandi telanjang, para gadis tidak mempedulikan Shuka, sang perjaka tampan. Akan tetapi ketika Bhagawan Abyasa menyusul Shuka di belakangnya, para gadis cepat-cepat menutupi diri mereka dengan pakaian, meskipun ia sudah tua dan seorang resi. Abyasa bertanya, mengapa dia tidak mempedulikan Shuka yang muda tetapi malu dengan dia yang sudah tua, mereka menjelaskan bahwa Shuka adalah “Samadrik”, orang yang melihat tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, tetapi Abyasa belum mencapai tahap itu. 

Tuhan Hyang Maha Kuasa campur tangan dalam urusan Parikesit yang pasrah terhadap-Nya tentang bagaimana cara yang tepat yang harus dilakukan menjelang kematiannya dalam tujuh hari ke depan. Resi Shuka berkata pada Parikesit tentang cara terbaik menghadapi kematiannya. Parikesit sangat berbahagia dengan dukungan moril Resi Shuka. Seorang resi tidak asal berbicara, semua yang diucapkan adalah sabda ilahi. Resi Shuka berkata, “Hormatku pada ayahandaku yang telah menyusun Bhagawata Purana, tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari teragung dalam hidupmu. Khatwanga saja bisa mencapai kaki Narayana dalam waktu 1 muhurta (48 menit). Umat manusia ke depan akan menerima manfaat dari kisah yang kuceritakan kepadamu. Potong tali ikatan keluarga dan duniawi, mandi dan duduk meditasi, persiapkan dirimu menghadapi kematian!” Manusia suka menunda, itulah sifat utama pikiran, manas, pikiran manusia, bila merasa saat ini kematian belum menjemput, lebih baik nanti saja melakukan persiapan untuk kematian. Demikian dilakukan sampai ajal menjemput dan manusia masih belum siap juga.