Wacana Suta dalam Siwa Purana
Dalam seratus ribu sloka yang berisikan dua belas samhita (bagian atau bab)
Dewa Siwa Sendiri memberikan Siwa Purana pada Brahma dengan penuh berkah. Dewa
Brahma, sang pencipta, memberikannya pada putra kesayangannya Narada. Narada
kemudian meneruskannya pada Sanata Kumara, yang kemudian menceritakan kisah ini
kembali pada Wedavyasa (para rsi penemu weda).
Kemudian Rsi Wedavyasa yang terberkahi ini mengintisarikan seratus ribu sloka
ini menjadi dua puluh empat ribu sloka, dalam tujuh samhita: Vidyeswara, Rudra,
Shatarudra, Kotirudra, Uma, Kailasa dan Vayuviya samhita. Maharshi Suta bersama
dengan Shuka Munindra diberkahi oleh Wedavyasa. Dan kemudian, Suta Muni
menceritakan purana, cerita epos yang besar ini pada Rsi Shaunaka dan rsi lainnya.
Keagungan Siwa Purana
Di sungai suci Prayaga (pertemuan antara sungai Gangga, Yamuna dan sungai
Saraswati yang legendaris), diminta oleh para rsi dan orang suci lainnya yang
dipimpin oleh Shaunaka, Maharshi Suta menjelaskan kepada mereka keagungan
Parama Siwa yang sangat luar biasa.
Dewa Siwa sendiri diberkahi oleh Brahma dengan cerita yang terbagi menjadi dua
belas bagian yang disebut sebagai samhita. Brahma diberkahi oleh Narada
menceritakan tentang purana dan Narada kemudian menceritakannya pada Sanata
Kumara. Ia menceritakan cerita yang agung ini pada rsi Wedavyasa.
Rsi Wedavyasa diberkahi dengan pengetahuan tentang Siwa, Siwajnana. Karena
kasihnya pada semua makhluk, dengan keinginan mencerahi semua dengan yang mana
ia telah terberkahi, Wedawyasa mengintisarikan Mahapurana, epos yang besar ini
menjadi dua puluh empat ribu sloka yang dibagi menjadi tujuh. Tujuh samhita
yang diceritakan oleh Maharsi Suta pada Saunaka dan rsi lainnya adalah: i)
Vidyeshwara samhita, ii) Rudra samhita, iii) Shatarudra samhita, iv) Kotirudra
samhita, v) Uma Samhita, vi) Kailasa samhita dan vii) Vaayuviya samhita.
Karena kehendak suci Paramasiwa, Suta kemudian menceritakan purana pada para
rsi dan orang suci lainnya di Triveni Sangam, pada Shaunaka dan rsi lainnya.
Suta adalah putra Romaharshana. Ia dipanggil Roma Harshana. Ia adalah murid
kesayangan Rsi Vedavyasa yang membagi nyanyian weda menjadi empat weda,
demikian juga dengan delapan belas purana.
Ia juga memberikan dunia cerita epos
besar Maha Bharata yang disebut sebagai Weda kelima.
Rsi Suta berkata:
Wahai! Para rsi! Kalian akan mendapatkan inspirasi tentang kegagungan Parama
Siwa. Dengarkanlah! Tidak ada yang lebih berharga dan lebih suci serta yang
akan memberikan pahala kebaikan (punia) selain mendengarkan dan membaca Siwa
Purana. Bahkan mereka yang hanya mendengarkan satu cerita saja, atau sebagian
kecil saja, satu episode saja atau bahkan setengahnya saja, akan diberkahi dan
akan mencapai mukti, pembebasan dari
ikatan duniawi.
Siapapun yang mendengarkan ini pada saat berpuasa pada hari keempat belas bulan
chaturdasi maka ia akan mencapai pahala kebaikan dan akan menumui kebaikan
selalu.
Ketahuilah, bahwa Rudra dan Kailasa Purana adalah samhita yang teragung untuk
mendapatkan berkah.
Ia yang menceritakan Rudra Samhita tiga selama empat hari dihadapan Dewa
Bhairava maka keinginan yang ia miliki semuanya akan terpenuhi.
Yang lebih agung dari samhita ini adalah Kailasa Samhita. Hanya Parama Siwa
sendiri yang mengetahui cerita ini. Bahkan guruku hanya mengetahui setengahnya.
Sedangkan aku hanya mengetahui cerita ini seperempat saja. Semua ini adalah
kehendaknya, kehendak Parama Siwa.
Siwa Panchakshari (nyanyian lima sloka Dewa Siwa), kekuatannya, keampuhannya,
bagaimana cara mengucapkannya, cara mencapai Tri warga; dharma, artha dan kama
serta bagaimana cara mencapai pelepasan diri (moksha) semuanya telah dimasukkan
dan dijelaskan dalam Siwa Purana. Walaupun tidak mungkin nampaknya
menceritakannya dengan semua kata, Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk
menceritakan apa yang aku tahu dengan berkah Tuhan.
Setelah berkata demikian Muni Suta mulai menceritakan tentang Dewaraja.
KISAH DEWARAJA
Pada jaman dahulu kala, di Kirata Nagara hiduplah seorang brahmana yang bernama
Dewaraja. Ia menjalani kehidupan yang tidak teratur dan hidup yang amat buruk.
Ia tidak pernah mandi dan berdoa. Satu-satunya tujuan utamanya dalam hidup
adalah untuk menghasilkan banyak uang dan kemudian menghamburkannya sesuka
hatinya. Ia menipu orang lain dan juga bertikai dengan teman atau
sanak-saudaranya. Suatu hari ia pergi ke sebuah kolam pemandian yang amat segar
dan disana ia bertemu dengan seorang wanita jahat yang bernama Shobawati. Ia
terperangkap oleh kejahatan wanita itu. Ia menghaburkan uangnya untuk wanita
itu. Orang-tuanya dan istrinya berusaha untuk memberinya nasehat namun ia tidak
perduli. Setelah semua uangnya habis, wanita itupun mencampakkannya.
Brahmana itu tiba disebuah tempat yang bernama Pratishthana Pura. Disana ia
jatuh sakit. Ia merasa bahwa ajalnya akan tiba. Ia berlindung di sebuah kuil
Dewa Siwa. Ia berbaring dan tak mampu bergerak. Ia tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali mendengarkan Purana dan juga wacana keagamaan di tempat itu. Wacana dan
pravachana ini berakhir pada saat nafas terakhirnya terhembus.
Utusan Dewa Kematian (Yama) datang menjemput arwah (prana) brahmana itu menuju
ke tempat mereka. Namun dihalangi oleh utusan Siwa, Siwaduta. Utusan Yama
membebaskan brahmana yang berdosa, Dewaraja. Tetapi kemudian utusan Dewa Siwa
mengatakan apapun yang ia lakukan dalam hidup dan bagaimana caranya ia hidup
terdahulu, pada hari –hari terakhirnya hidup ia telah mendengarkan Siwa Purana
yang menghapus semua dosanya hingga bersih. Setelah berkata seperti itu, mereka
membawa arwah brahmana itu ke Kailasa, kediaman Dewa Siwa.
Dharma (nama lain Yama) ketika ditanyai oleh pelayannya mengenai kejadian itu
menjelaskan, begitulah keagungan Dewa Siwa dan berkah seperti itulah yang
diberikan pada orang yang telah mendengarkan Siwa Purana.
Muni Suta menceritakan sebuah cerita lain – cerita tentang Chencula.
CERITA CHENCULA
Di sebuah tempat yang bernama Baskhala hiduplah seorang Brahmana yang bernama
Binduga dengan istrinya Chencula. Binduga terperangkap oleh seorang wanita yang
buruk tabiatnya. Ia tidak pernah pulang atau menemui istrinya. Itulah yang
membuat Chencula sakit hati dan menderita, Chencula kemudian juga ikut mencari
teman laki-laki yang juga bertabiat buruk untuk membalas perbuatan suaminya.
Mengetahui hal ini, Binduga pulang suatu hari dan memukulinya. Chencula menuduh
suaminya tidak setia dan menyalahkan suaminya atas semua yang terjadi.
Setelah bertengkar cukup lama, keduanya sepakat. Chencula yang akan bekerja dan
kemudian memberikan uangnya pada suaminya. Tidak ada yang akan ada pria yang
mau membayarnya. Mereka setuju untuk berpura-pura selayaknya suami dan istri
yang sebenarnya.
Seiring waktu yang telah berjalan, Chencula kemudian menjadi janda. Ia
berkelana tanpa tujuan. Ia kemudian tiba di Gokarna Kshetra (kshetra adalah
tempat perziarahan). Di kuil Mahabeleshwar ia mendengarkan wacana tentang Siwa
Purana. Ia kemudian paham, bahwa pendosa akan pergi ke neraka, tempat dimana
Yama Dharmaraja akan memberikan hukuman pada pendosa. Iapun pergi. Sehari
setelah wacana itu, ia pergi ke Pauranik (pencerita purana) dan mengakui
dosanya. Pauranik itupun menyarankan agar ia tetap mendengarkan wacana itu dan
mengingat Tuhan selalu. Ia melakukannya.
Sebagai hasilnya, setelah ia meninggal ia dibawa ke Kailasa, dimana ia menjadi
sahabat Ibu Tertinggi, Gauri.
CHENCULA MENYELAMATKAN SUAMINYA
Suatu hari Chencula memohon dan bertanya pada Ibu Tertinggi dimanakan suaminya
Binduga. Iapun mendapatkan jawaban. Ia berada di Neraka mendapatkan buah
atas perbuatannya. Ibu Tertinggi memberitahunya bahwa ia telah menjadi arwah
yang jahat dan mengganggu (Pishacha) berkelana di gunung Vindhya. Chencula
berdoa untuk pengampunannya. Ibu Mulia yang amat pengasih tersenyum dan
mengirim Tumbura, seorang Gandharwa (makhluk surgawi) bersama dengan Chencula
ke Gunung Vindhya. Ia memberitahu Tumbura untuk menceritakan Siwa Purana pada
pendosa Binduga, yang akan menghancurkan dosanya. Tumbura kemudian diberikan
dua pelayan Siwa sebagai pendampingnya.
Di gunung itu, Tumbura menemukan dimana arwah jahat itu berada. Tetapi arwah
itu tidak mau mendengarkan Siwa Purana. Oleh karena itu pelayan Siwa
mengikatnya. Tumbura memainkan alat musik dan menyanyikan keagungan Maha Siwa.
Gunung ini dipenuhi dengan melodi yang sangat indah. Para bidadari turun dari
surga untuk mendengarkan melodi tentang keagungan Siwa dan perbuatannya.
Sedangkan Binduga telah lepas dari kejahatannya dan ia telah pulih.
Kejahatannya sirna. Ia telah berubah menjadi makhluk yang bersinar. Chencula
bersama dengan suaminya mencapai Kailasha dan mereka hidup bahagia selamanya.
Begitulah kekuatan berkah Siwa.
Muni Suta kemudian menghubungkan kekuatan Purana yang memberikan kebahagiaan
dan penghancur dosa suami Ambika, yang memaksa para rsi da orang suci untuk
mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Kemudian ia memulai wacananya
tentang Siwa Purana.
SHRI VIDYESHWARA SAMHITA
Kata Muni Suta
Setelah beberapa yuga, yang sekarang
disebut dengan Swetavaraha Kalpa (kalpa bisa diartikan sebagai beberapa yuga).
Swetawahara berarti potongan putih. Pada awal kalpa ini enam rsi agung dari
garis keturunan tertentu (dari Gotra yang terkemuka) duduk di sungai Triveni
Sangam dan membahas tentang siapa Para Brahma itu. Diskusi mereka tidak
mendapatkan jawaban. Mereka menemui Brahma, Sang pencipta dan berdoa
dihadapannya.
Percakapan antara para rsi dan Dewa
Brahma
Berikut inilah percakapannya:
Para
rsi
: Wahai, Dewa Brahma! Siapakah Parama yang disebut sebagai Para (Yang maha
mutlak – yang tidak diketahui)?
Brahma
: Ia adalah Rudra. Ia adalah Sadasiwa.
Para
Rsi
: Bagaimana tatwa (alam, filsafatnya dan keberadaannya) bisa diketahui?
Brahma
: Hanya melalui berkahnya, Siwa kataksha (berkah dan keberkenanannya). Hanya
melalui berkahnya hingga pengabdian melalui berkahnya yang maha agung
akan mengembangkan seseorang secara perlahan. Hanya melalui berkahnya yang bisa
tercapai dicapai. Berkahnyalah yang mengarahkan kita pada Jnana. Hanya melalui
Jnana, tatwa Siwa, sifatnya bisa dipahami.
Para
rsi
: Diantara semua yang bisa dicapai (sadhya) yang manakah yang terpenting?
Apakah arti berlatih – Sadhana? Siapakah yang bisa disebut sebagai Sadhaka?
Brahma
: Diantara semua yang bisa dicapai yang paling penting adalah mencapai kaki
Dewa Siwa. Ia yang mampu mengendalikan diri dan tidak mengenal lelah ialah
seorang pencari atau sadhaka. Ialah yang menaati aturan suci (Dharma) seperti
yang disebutkan dalam Weda, karena kelahirannyalah, kebiasaannya dan tradisinya
yang sesuai dengan ashrama dharma, mempersembahkan semua hasil perbuatannya
pada Siwa- itulah sadhaka, tidak diragukan lagi, ialah yang mencapai Kailasha,
kediaman Siwa. Untuk mencapai aki sucinya, untuk pergi ke Kailasa, shravan,
chintan, manan dan kirtan sangatlah penting. Shrawana artinya mendengarkan
ceritanya, perbuatannya dan berkahnya, Manan artinya perenungan, Chintan
artinya mengingat dan Kirtan artinya menyanyikan pujaan pada Siwa.
Para
Rsi
: Jelaskanlah pada kami ketiganya dengan lengkap.
Brahma
: Dengarkanlah! Dengarkanlah tentang perbuatannya, kekuatannya dan kejayaannya
yang adalah Shravana. Kita melihat dunia dengan mata kita. Tetapi kita merasa
lebih senang mendengarkan Parameshwara, Ia yang tidak terlihat lewat mata kita,
yang tidak terucap dengan bibir kita dan juga lidah kita (vaak) atau bahkan
dengan manas (hati- pikiran). Dengan keinginan untuk mengetahui dan rasa haus
akan kebijaksanaan, seseorang itu harus mendengarkan cerita tentang-Nya.
Untuk hal ini, seorang guru diperlukan.
Seperti seorang pemuda yang mengalihkan pandangannya pada seorang bidadari yang
cantik, demikian pula seseorang itu akan berpaling dan mendengarkan
kejayaannya. Ini adalah Shrawana.
Kemudian Kirtan- menyanyikan Kejayaan-Nya, perbuatan baiknya untuk
menyelamatkan dan melindungi kebaikan dan menghukum kejahatan. Menyanyikan
Kirtan harus dilakukan siang dan malam.
Kemudian, Manan (perenungan) adalah untuk melihat pikiran Penyelamat,
pelindung, Pemberi berkah dan pemberi ampun. Ia bisa membebaskan dan memberikan
mukti (kebebasan) pada siapapun.
Sumber dari ketiganya adalah sangatya- satsatng- menemani mereka yang
bijaksana, berbakti, maha-mengetahui dan murni. Dengan menemani mereka yang
seperti itu maka akan memungkinkan mendengarkan hal yang baik. Shrawana ini
akan membimbing kita mendapatkan pencerahan saat itu juga. Mereka yang
melakukan ketiga ini makan akan menjadi berpunya dan semakin dekat dengan-Nya.
Tetapi terkecuali mendapatkan berkahnya, tidaklah mungkin membuat bahkan
awalnya sekalipun, mengambil langkah pertama dalam berbuat yang benar dan ke
arah yang diinginkan .
Sanata Kumara mengajarkan Shaivisme
pada Vyasa
Suta, pencerita Purana (Pauranik)
melanjutkan ceritanya:
Guru Maharshi Vyasa tenggelam dalam
meditasinya dan merenung dalam tapasyanya. Suatu hari Sanata Kumara
datang. Vedavyasa menghaturkan sebuah penyambutan selamat datang dan menghaturkan
upachaara (sebuah ritual) sesuai dengan adat yang ada. Sanata Kumara sangat
berkenan dan mengajarkan Maharshi Vyasa cerita tentang Shaivisme.
Wahai Putra Satyawati!
Kebenaran yang mutlak dan satu-satunya adalah obyek dari perenungan atau
tapasya. Kemudian tidak ada kebenaran yang tertinggi selain Siwa. Inilah yang
sebenarnya, seseorang sepertimu harus mampu melihat-Nya. Ia meminta sang Rsi
untuk melakukan apa yang ia minta.
Rsi Wedavyasa menjawab:
Aku mencatat berbagai jalan dimana manusia bisa mencapai keempat tujuan yang
disebut dengan Purushaartha – Dharma, Artha, Kama dan Moksha. (Berpegang teguh
pada hukum suci, menghasilkan uang, memenuhi keinginan dan akhirnya mencapai
kebebasan- mukti.). Bahkan setelah melakukan hal ini semua, aku masih tidak
mampu mendapatkan jnana itu yang adalah alah untuk mencapai kebebasan. Dengan
pikiran seperti itulah aku bertapa.
Sanata Kumara tersenyum dan berkata:
Mengapa mengkhawatirkan hal itu? Dulu akupun menderita kebimbangan yang sama
dan melakukan tapasya. Dengan berkah Siwa, aku berlari ke Nandikeshwara yang
meyakinkanku. Ia memberkahiku hanya dengan Shrawana, Chintana, Manana dan
Kirtana seseorang bisa mencapai-Nya.
Wahai putra Parasara! Kaupun harus melakukan ketiga hal ini. Lupakan
keinginanmu yang lain. Tenanglah dan berpegang-teguhlah.
Kejarlah cita-citamu dengan
ketetapan hati.
Setelah mengatakan hal ini, Sanata Kumara pergi dengan sahabat-sahabatnya ke
Brahmaloka.
Karena itulah, kata Rsi Suta bahwa Shravana, chintana, manana dan kirtana akan
menjadi jalan untuk menyadari-Nya.
Kata Rsi Shaunaka dan yang lainnya:
Apa yang kau katakan memang benar. Tetapi ketiga hal ini yang disebut dengan
sadhana trikam sangat lama dicapai. Bahkan tidak mungkin pada jaman Krita dan
juga Treta yuga. Dengan sedikit usaha akan bisa dicapai pada masa Dwapara.
Tetapi pada jaman Kaliyuga manusia memiliki umur yang pendek. Dalam hidup yang
pendek, adakah cara yang lebih mudah?
Maharshi Suta kemudian menjawab:
Tidak hanya dalam Kaliyuga. Pada jaman apapun adalah mudah untuk mencapai
kebebasan. Yaitu dengan memuja (berdoa) Siwa dengan menggunakan lingga.
Seseorang itu bisa memiliki lingga pada telapak tangannya, atau pada tempat
pemujaan, pada ruang yang khusus atau kuil. Bisa juga pada tempat suci
peziarahan. Ia yang memuja Siwa pasti akan mencapai pembebasan.
Perenungan/meditasi (dhyana), memanggil dewa, menghaturkan tempat duduk, lampu,
buah dan air, menghidupkan wewangian adalah proses pemujaan yang disebutkan
dalam shastra dan menghaturkan semua keenam belas upachara—ritual – dengan
ketulusan akan menghasilkan hasil yang baik. Ia yang tidak bisa melakukan vidhi
atau tugasnya menghaturkan pemujaab, bisa memuja lingga dengan memakai sebuah
patung. Hanya Siwa dengan kesempurnaannya dan keagungannya dipuja sebagai
‘personalitas’. Dewa yang lain memiliki personalitas (murtimanta) tetapi tidak
mencapai keadaan nirakarata – ketidakberwujudan dengan menjadi Paratatwa. Ini
adalah alasan menyebut Siwa dengan Sarveswara.
Setelah mendengarkan Rishi ini iapun bertanya lagi:
Ini benar-benar indah. Dengan menjadi Parabhrahma bagaimana bisa Siwa memiliki
semua wujud dan bentuk dan pada saat yang sama tidak memiliki bentuk, wujud
atau sifat?
Mari kita pelajari lagi.
Kata Muni Suta:
Aku akan memberitahumu. Pada jaman dulu ketika Markandeya bertanya pada-Nya, Ia
menjawab. Aku akan memberikanmu jawaban:
CERITA TENTANG MUNCULNYA LINGGA
Kata Nandikeshwara:
Suatu kali, ketika penciptaan dimulai Brahma, ia yang memiliki lima wajah duduk
diatas lotus, hingga datanglah Wisnu. Wisnu yang sangat tampan tidur diatas
lingkaran ular besar – Adisesha menyambutnya dengan berbagai upachara.
Penciptaan terjadi begitu saja tanpa ada yang membuat Brahma bangga. Ketika
harga-diri memenuhinya muncullah Siwa Maya, penggoda Siwa. Itulah yang terjadi
pada Brahma. Ia marah pada Wisnu karena tidak menunjukkan rasa hormat dan
karena ia tertidur. Ia berpikir, Ialah pencipta, ayah dari semuanya. Ia
mendekati Wisnu dan membangunkannya dan mengatakan bahwa ia akan mendapat
balasan atas kelalaiannya itu.
Wisnu sangat marah karena ia berpikir bahwa Brahma yang lahir dari pusarnya
harus menghormatinya. Apalagi, kemudian ia berpikir, bahwa ia adalah penjaga
semuanya, pemelihara semuanya. Dengan bibir tersenyum, tanpa menunjukkan
amarahnya, Wisnu berkata pada Brahma bahwa ialah yang akan mendapatkan
balasannya. Setelah berkata seperti itu iapun memuji dirinya.
Keduanya bertikai. Ini menjadi semakin sengit dan menjadi perang. Brahma dan
Wisnu kemudian keduanya terbelenggu oleh Siwa Maya. Masing-masing pendukungnya
mendukung junjungannya. Masing-masing mengaku ada dimana mana dan sangat kuat.
Sebagai akhirnya, Wisnu menggunakan senjata Maheswaranya. Brahma menggunakan
senjata Pashupatanya. Kedua rsi dan para bidadari tercengang. Mereka semua pergi
ke Kailsasha mencari perlindungan pada Siwa untuk mendapatkan kedamaian.
Siwa menghilang setelah memberikan mereka perlindungan dan berdiri sebagai
pillar api yang besar dan bercahaya. Dengan cahaya sucinya senjata Brahma dan
Wisnu terserap. Dalam cahaya yang gemerlap itu baik Brahma atau Wisnu sangat
terpukau. Semua yang hadir disana terkesima. Cahaya ini tak tertahankan
olehnya. Pilar cahaya ini juga adalah pilar api. Tidak berawal dan tidak
berakhir. Untuk menemukan pangkalnya Wisnu menjadi Sweta Varaha, babi hutan
putih, dan pergi menyelami awal semuanya. Brahma dalam pencarian yang sama juga
mencari ujung pillar itu. Keduanya gagal menjalankan misinya. Ketika itu pula
Brahma melihat bunga Ketaki yang jatuh, ia meminta bunga untuk menjadi saksi
bahwa ia melihat ujung pilar itu. Bunga Ketaki dan Brahma menuju medan perang.
Wisnu disana dengan muka yang malu. Brahma telah mendapatkan kemenangan dengan
bunga Ketaki sebagai saksinya. Wisnu menerimanya dan menerima kesuperioran
Brahma. Kemudian Wisnu memberikan hormat serta menghaturkan upacara pada
Brahma.
Siwa bermanifestasi untuk memberkahi
Wisnu
Saat ahamkara, keegoisan dan kesuperioran Wisnu hilang, demikian juga dengan
penggoda Siwa, yang juga menghilang. Wisnu mengulangi nama Siwa dengan
ketetapan hati (Chitta). Dengan pemujaan yang dilakukan Wisnu, Siwa menjadi
berkenan dan mengampuni. Dari pilar api itu Ia bermanifestasi dengan satu mata
pada dahinya selain mata yang ada pada wajahnya, dengan tenggorokan yang
berwarna biru dan sebuah bulan sabit pada rambutnya yang bergelung. Ia
memandangi Wisnu dengan mata yang lembut. Dengan pikiran dan hati yang dipenuhi
kebahagiaan Wisnu menyanyikan lagu suci Siwa.
Siwa
yang memiliki tubuh bagaikan kristal menjanjikan Sri Hari dengan tubuh berkilai
bagai safir.
Wahai
Narayana! Seandainya engkau berbohong seperti Brahma, engkau akan menang.
Tetapi kau tidak mau melakukan kebohongan itu. Dengan kebenaran engkau
membuatku sangat berkenan. Kebenaran itu abadi. Ia yang memagang teguh Kebenaran
akan abadi. Mulai saat ini engkau akan dipuja di ketiga dunia, di surga, di
bumi dan di alam bawah, seperti Aku. Banyak tempat suci dipersembahkan padamu
seperti aku sebagai kshetra. Pemujaan juga akan banyak diadakan untukmu. Siwa
memberkahi Wisnu dan menghukum Brahma untuk dipenggal.
Bhava,
yang juga disebut sebagai Sambasiwa, menciptakan Bhairawa untuk memberikan
pelajaran pada Brahma. Ia memerintahkan:
Bhairawa!
Hukum Brahma dengan memenggal kepalanya!
Bhairawa
kemudian menajamkan pedangnya dan memegang kepala Brahma. Ia memotong kepala
pertamanya. Ketika kepalanya yang lain juga akan menemui nasib yang sama,
Brahma memohon ampun pada Siwa.
Kesedihan
pencipta Brahma sangat menyentuh hati karena ia juga lahir dari pusar Wisnu.
Brahma memohon hidup pada Siwa. Wisnu juga memohon pada Siwa. Siwa mengabulkan
permohonan itu.
Siwa
mengijinkan Brahma menjalankan kewajibannya sebagai pencipta tetapi mengutuknya
bahwa ia tidak akan dipuja lagi. Pada akhirnya Brahma juga mendapatkan
pengampunan lain. Pada semua upacara api Brahma dihormati sebagai pencipta.
Ritual yang tidak memberikan penghormatan pada Brahma tidak akan mendatangkan
hasil.
Siwa menghukum Ketaki
Ketaki berdiri dihadapan Siwa dengan tubuh gemetar. Siwa mengutuknya bahwa ia
tidak akan digunakan lagi pada pemujaan manapun. Para bidadari dan dewa yang
menggunakan ketaki pada rambut mereka, membuangnya. Kemudian bunga itupun
memohon ampun pada Siwa. Tersentuh hatinya, Dewa Siwa mengatakan bahwa Ketaki
bisa digunakan sebagai payung oleh pemujanya saat memuja Siwa.
Keagungan Siwaratri
Setelah Siwa melakukan itu semua, Iapun menjadi dewa yang dipuja bahkan oleh
Sang Pencipta, Brahma dan juga dewa pemelihara, Wisnu. Mereka semua
menghaturkan sembah padanya.
Siwa sangat berkenan. Ia mengumumkan bahwa hari hari tertentu akan di ingat
selamanya sebagai Siwaratri. Malam itu akan diingat sebagai Siwaratri (Malam
Siwa). Pada hari itu, siapun yang memuja –Nya dan juga berpuasa serta begadang
(melakukan jagarana) akan mendapatkan pahala yang setara dengan pemujaan biasa
yang dilakukan dalam setahun. Hari itu adalah hari suci bagi pratishtha
(pengukuhan) Lingga Siwa dan merayakan Siwa Kalyana, utuk membangun kuil. Hari
keempat belas, bulan Margashira dibawah naungan bintang Arudra akan sangat baik
untuk memuja Siwa. Tempat dimana Siwa berubah wujud menjadi sebuah linggam api
dan cahaya akan dikenal dengan nama Linggastana—tempat lingga. Tempat api itu
menyala juga akan menjadi Lingga Siwa. Tempat darimana api itu keluar atau
berkobar akan disebut dengan Arunacala- yang berarti gunung merah. Ini akan
menjadi peziarahan terkemuka diantara Kshetra Siwa (peziarahan suci Siwa). Bagi
mereka yang memuja Siwa tentu akan mendapatkan tempat si Siwaloka misalnya di
Sallokya, Samipya dan Sayujya (tempat pada loka yang sama, kedekatan dan
penyatuan. Pada saat akhir pemujaan pada hari Siwaratri, Siwa memberitahu
Brahma dan Wisnu bahwa ia bemanifestasi menjadi pilar api yang besar hanya
untuk memperlihatkan pada mereka Parama Tatwa- sifat Kenyataan Mutlak. Ia juga
bisa bermanifestasi dengan sifat atau bahkan tanpa wujud, tidak bisa
dibandingkan dengan apapun dan dalam wujud yang tidak terbatas. Dualitas
kualitas dengan apa yang disebut dengan Nirakara Nirguna dan Sakara Nirguna.
Yang pertama adalah Niskala dan yang kedua adalah Sekala. Dewa Siwa adalah
keduanya. Ia kemudian lebih jauh lagi mengatakan pada mereka bahwa tidak ada
bedanya antara Ia dan lingga. Ia menyarankan kepada mereka berdua untuk
melanjutkan tugasnya tanpa saling bertikai lagi. Ia berkata bahwa Ia akan
tinggal disebuah tempat. Ia menyerap dalam segala hal.
Mereka yang memasang lingga Siwa akan tinggal di Kailasa seperti Siwa sendiri.
Itulah Sayujya. Hal yang paling banyak mendatangkan pahala adalah memasang
Lingga Siwa. Ini disebut dengan Pratisthana. Jika tidak memiliki lingga, maka
patungnyapun bisa dipasang, dan tempat dimana patung itu dipasang akan menjadi
Siwa Kshetra.
Panchakritya
Baik Wisnu dan Brahma, mendengarkan dengan penuh perhatian semua yang telah
dijelaskan oleh Dewa Siwa mengenai lima perbuatan atau Kriya.
Dewa Siwapun menjelaskan pada Brahma
dan Wisnu hal berikut ini:
Penciptaan berarti bertumbuh dengan ikatan dan aturan. Menjaga semuanya teratur
dan melindungi semua ciptaan dari ketidakteraturan adalah bisa dilakukan dengan
menjaganya. Membagi dunia makro dan menjadikannya dalam bentuk mikro adalah
samhara- penghancuran. Dan kemudian menjaganya hingga penciptaan yang
berikutnya adalah thirodhana, atau terkadang disebut dengan thirodhana sankalpa
(mengalami kemunduran, atau kembali). Keempat kriya ini saling berhubungan.
Yang paling akhir dan paling utama adalah ‘Anugraha’ berkah suci yang
membebaskan persembahan mukti (pembebasan). Hanya Siwa yang mampu memberikan
anugraha- berkah. Semuanya terlahir dari bumi, hanya dengan air semuanya bisa
tumbuh. Hanya melalui cahaya dan kehangatan mereka akan pergi. Dengan udara dan
kedalam udara mereka akan menghilang. Hanya akashalah yang nyata- yang berarti
ia dengan wujud Dewa Siwa.
Untuk menjalankan kelima fungsi ini, Ia memiliki lima wajah. Dengan berkahnya,
sementara Dewa Brahma dan Wisnu menciptakan dan menjaga, penghancuran dan
penarikan kembali penciptaan dilakukan oleh Dewa Rudra atau Maheswara. Dewa
Siwa sendiri mampu melakukan rangkaian kriya yang kelima- Anugraha. Karena
Rudra dan Maheswara melampaui ‘Ahamkara’ dan mentransendenkan egoisme- mereka
tidak memiliki bentuk atau wujud selain Siwa. Mereka memiliki kendaraan
(wahana) yang sama, tempat duduk yang sama (asana) dan juga wujud eksternal
yang sama (vesha).
Dengan bertikai, Dewa Brahma dan Wisnu telah merendahkan diri mereka sendiri.
Siwa menyarankan agar Dewa Brahma dan Wisnu memberikan Shivapanchakshari mantra
Om Namahsiwaya dan Pranawa, Om yang berada dalam diri Siwa dan Shakti. Dari
keduanya muncullah pengucapan mantra. Dengan mengucapkan dan melakukan
pengulangan mantra, manfaat tertentu akan diperoleh. Semua mantra memberikan
kebahagiaan dan juga kesenangan. Tetapi Panchaksari mantra akan memberikan
semua kesenangan dan kenyamanan dan bahkan mukti (pelepasan diri).
Dengan menyuruh Dewa Brahma dan Wisnu menghadap ke utara, Dewa Siwa memberikan
mantra kepada mereka. Kemudian Ia juga memberkahi mereka dengan yantra dan juga
tantra. Yantra mengacu pada cara pemujaan dengan rancangan geometris dan juga
aturan tertentu yang sesuai dengan tantranya.
Kemudian keduanya Brahma dan Wisnu menyimpan Vrushakapi (perlambangan Siwa) di
tempat guru (guru sthana). Sebagai persembahan pada guru, mereka melakukannya
dengan sepenuh jiwa.
Kata Muni Suta:
Wahai Para rsi dan orang suci sekalian!
Mengucapkan mantra Panchakshari pada hari keempat belas bulan Marghashirsa
dibawah naungan Arudra akan memberikan manfaat yang tak terhitung. Tidak ada
yang lebih bermanfaat selain memuja Siwa dengan memasang Lingga Siwa baik
dilakukan sendiri atau dilakukan oleh brahmana dan memujanya dengan enam belas
upachara, akan memastikan orang yang melakukannya mencapai kediaman Dewa Siwa.
Berbagai Jenis pemujaan Lingga
Pada waktu yang suci (muhurta) waktu yang sangat nyaman bagi semua pemuja,
ditepi sungai suci, lingga harus dipasang (pratishthana). Lingga ini bisa
dibuat dari tanah liat atau bisa berupa tejo lingga. Jika bisa dibawa
kemana-mana, haruslah kecil. Apapun bentuknya, sebuah lingga harus memiliki
sebuah dasar- panapatta. Bisa berbentuk segi empat atau segi tiga. Harus
terbuat dari bahan yang sama dengan lingga. Untuk lingga yang bisa dibawa
kema-mana, lingga dan panapattanya harus menyatu. Bagi mereka yang melepaskan
diri dari ketetarikan duniawi, ia yang mencari pembebasan, sebuah lingga dengan
tinggi satu inci akan mencukupi. Mereka yang membuat sebuah pratishtana
haruslah membuat kanopi juga. Pahatan dewa-dewi, dewatagana, harus mengelilingi
tembok seperti yang disebutkan dalam shastra. Pintu masuk tempat ini harus
dihias dengan batu permata. Di bawah dasar lingga, pada sebuah lubang, batu
berharga juga harus diletakkan disana. Harus terdapat sebuah ‘havana’ dan
pemujaan dengan ucapan mantra yang telah disebutkan. Orang yang melakukan
ritual ini harus dihormati. Setelah pemujaan, orang miskin harus diberi sedekah
berupa makanan dan juga baju baru. Bahkan ‘utsawa murti’ yang dibawa pada saat
prosesi bisa diletakkan pada sebuah tempat.
Penjelasan mengenai Lingga yang
berbeda
Lingga ada dua jenis: yang tidak bisa berpindah, tetap ada disuatu tempat dan
lingga yang bisa dibawa kemana-mana, dinamis. Lingga yang dinamis bisa terbuat
dari tanah-liat atau jaggeri (gud), mentega atau tepung dan diletakkan pada ibu
jari tangan kiri dan bisa dipuja dengan mengucapkan mantra seperti yang
disebutkan dalam buki suci.
Mereka yang tidak bisa melakukan upacara secara lengkap da menyeluruh bisa
memberikan dana—sedekah , yang juga adalah sebuah lingga.
Pranawa harus diucapkan berulang-ulang paling sedikit 1000 kali. Ini bisa
dilakukan oleh pemuja sendiri atau dengan bantuan pandit (Brahmana). Ini
dianggap sebagai sebuah diksha (komitmen suci) dari pemuja yang telah
mengetahui dan juga telah mengetahui hal ini. Mereka yang ingin mendapatkan
berkah Siwa harus tinggal di Siwa Kshetra.
Dengan
mengulangi Panchakshari lima crore kali maka manusia akan menjadi sama dengan
Dewa Siwa.
Dengan
empat crore maka manusia akan sama dengan seorang Brahmana; jika seseorang
mengulangi mantra Gayatri seribu kali Siwa akan berkenan, dan akan
menghadiahkan tempad di kediamannya Kailasha.
Haruslah
diingat bahwa pemujaan Siwa pada malam hari akan menghasilkan buah pahala yang
amat baik.
Setelah
mendengar semua ini semua suta, pencerita purana (pauranik), para rsi dan juga
para orang suci ingin mendengar dan mengetahui lebih jauh lagi tentang Siwa
Kshetra, kediaman Dewa Siwa.
Sungai Dan Kshetra
Setelah mendengarkan perintah Dewa Siwa, Bumi telah menyangga berat ribuan
gunung dan juga sungai-sungai yang sangat banyak. Untuk memberkahi mereka yang
hidup di bumi, Siwa membuat Kshetranya, tempatnya, di suatu tempat. Dari
kshetra-kshetra itu ada yang muncul sendiri atau yang didirikan oleh para
pemuja (para bidadari dan dewa) dan juga oleh orang suci atau para rsi.
Terdapat banyak pantai di lautan dan tepian sungai.
Kashi, misalnya, berada di tepian Sungai Gangga. Bagi mereka yang mandi di
Narmada dan melakukan puasa, maka ia akan menjadi pemimpin yang baik.
Sungai yang lain, yang juga dipuja adalah Govadari. Hanya dengan mengucapkan
namanya saja, Govadari akan menghancurkan dosa-dosa mereka. Varanasi telah
menjadi tempat yang terkenal karena menjadi Siwa Kshetra. Mandi di sungai
Gangga akan menghasilkan pahala ratusan Sandhya wandana (pemujaan pada saat
matahari terbenam dan matahari terbit). Mandi ratusan kali akan menjadi langkah
pertama untuk belajar yoga. Tidak ada yang mampu menggambarkan pahala kebajikan
yang bisa diperoleh dengan mandi setiap hari di sungai Govadari. Sungai
Govadari memiliki kekuatan untuk membebaskan seseorang dari semua dosa-dosanya
dan memberkahinya dengan tinggal di Kailasha.
Pada semua kshetra, kediaman mulia, sangatlah penting untuk selalu berbakti dan
tulus. Dosa apapun yang dilakukan di tempat ini akan membuat seseorang
menderita di neraka.
Baik punia (pahala yang baik) atau neraka (dosa) memiliki tiga aspek:
1. Aspek benih (bija)- ini bisa dihancurkan dengan jnana
(pengetahuan dan kebijaksanaan).
2. Aspek pertumbuhan (vriddhi) – ketertarikan untuk berbuat
dosa dengan hal ini bisa dikendalikan dengan melakukan perbuatan yang
mendatangkan pahala.
3. Aspek pengalaman (anubawa) – dengan Jnananamsa dan
vriddhayamsa walaupun dosa sudah sudah dihapus, beberapa pahala baik dan juga
dosa harus dinikmati – harus dilalui oleh orang yang melakukannya. Itulah
anubawa.
Untuk menghindari buah dosa, empat
cara yang disarankan adalah:
1. Memuja Siwa
2. Memberikan sedekah bagi mereka yang pantas mendapatkannya.
3. Melakukan meditasi dan juga perenungan ( juga dsebut dengan
tapasya).
4. Mengingat bahwa akan mendapatkan penderitaan yangb
luar biasa dengan melakukan perbuatan yang salah.
Karena
yang keempat bukan cara untuk menghindari dosa, maka seseorang itu harus
melakukan banyak kebaikan untuk menghalangi papa (dosa). Mendengarkan Muni Suta
yang menjelaskan hal ini para rsi menanyakan cara menerapkan (sadachara) semua
itu dengan baik.
Melakukan kebaikan dan juga
penerapan yang sesuai
Kata Rsi Suta:
Seseorang
harus bangun pagi. Ia harus bermeditasi pada dewa pilihannya. Ia harus menjaga
diri dan penghasilannya serta semua yang ia keluarkan. Ia harus menggunakan
waktunya dengan baik untuk menghasilkan uang dan melakukan perbuatan yang baik.
Seseorang itu harus memikirkan kesehatannya, kekuatannya, kemampuaanya,
penghasilannya dan juga pengeluarannya.
Ia
kemudian harus mandi sebelum melakukan doa hariannya dan melakukan anusthan
seperti Gayatri atau yang lainnya, mengucapkan mantra yang tepat. Ini bisa
dilakukan di rumah atau kuil. Sampai berumur tujuh puluh tahun, seseorang harus
mengurusi rumah-tangganya (jika berumah-tangga) dan setelah itu ia harus
menjalani hidup suci (sanyasin). Seorang Sanyasin harus mengulangi pranawa
mantra paling tidak dua belas kali sehari.
Hanya
dengan mengikuti dharma (hukum suci) uang bisa diperoleh. Dharma harus
membentuk dasar semua tindakan. Uang bisa dicari dan dihabiskan sesuai dengan
dharma. Bahkan kesenanganpun harus dinikmati berdasarkan pada dharma.
Dharma
ada dua jenis: yang pertama dharma yang dilakukan dengan bantuan uang- seperti
ritual, kratu, yajna dan yaga, dan dharma yang kedua adalah dengan tubuh—secara
fisik, misalnya pergi ke peziarahan, mandi di sungai suci atau laut,
mengucapkan Gayatri Mantra dan yang lainnya. Yang melibatkan pengetahuan,
kebijaksanaan dan juga kecerdasan harus melibatkan kedua jenis dharma ini.
Dengan melakukan dharma, apapun yang bersifat duniawi atau yang lainnya harus
dimiliki.
Apakah
itu dharma? Semua kekerasan adalah adharma. Membuat orang lain bahagia adalah
dharma. Adharma membuat kita sengsara dan dharma memberikan kita kedamaian dan
kesenangan.
Jenis-jenis Yadnya
Menghaturkan samagri (benda atau materi) pada api dalam havana disebut dengan
yadnya. Havana yang dilakukan untuk menghormati dewa tertentu misalnya Indra
disebut dengan dewa yagna. Brahma yadnya adalah ilmu yang mempelajari weda.
Selain dari Agni (api) ada dewa lain juga yang dipuja pada saat yadnya.
Tujuh hari yang ada memiliki dewa tersendiri. Memuja mereka akan mendatangkan
pahala seperti berumur panjang, kesehatan, kekayaan dan juga ilmu pengetahuan.
Mantra, japa, havana adalah ketiga hal yang berkaitan dengan ritual api. Dana
(sedekah) dan memberikan makanan pada pemuja dan orang yang tak punya juga
adalah yadnya. Ada tiga jenis yadnya yang berbeda untuk mencapai hasil
tertentu. Semua ini dilakukan sesuai dengan prosedur dalam kitab suci, akan
meningkatkan kesehatan seseorang. Bahkan dengan mendengarkan pada cerita tetang
yadnya ini akan menghasilkan pahala saat melakukan dewa yadnya.
Waktu dan tempat untuk melaksanakan
Dewayadnya
Para rsi dan para orang suci meminta Suta untuk memberitahu mereka tempat yang
mana- desa, waktu- kaala, jaman yang tepat melakukan dewayadnya. Sebuah rumah
yang bersih, tepian sungai, pohon Bilva (bel), tumbuhan basil dan Aswatha
(pipal) adalah tempat yang tepat. Tepi laut sepuluh kali lebih baik daripada
sebuah sungai dan puncak gunung sepuluh kali lebih baik daripada tepi laut.
Pada masa Kaliyuga, buah yadnya datang lebih cepat dibandingkan dengan jaman
Kritayuga. Sebuah hari yang suci yang sesuai dengan almanak (panchanga) adalah
hari yang baik. Prosedur pemujaan mungkin berbeda antara satu rumah dengan
rumah yang lain, karena tiap rumah atau keluarga memiliki cara yang sedikit
berbeda untuk pemujaan. Memuja Parthiwa lingga, atau lingga yang terbuat dari
tanah liat, akan melindungi kepala rumah tangga dan juga keluarganya dari
kematian atau bahaya.
Memuja Parthiwa Lingga
Lingga harus terbuat dari tanah liat yang diambil dari dasar sungai dan
mencampurnnya dengan bubuk cendana dan susu. Karena percikan air akan membuat
lingga ini rusak (meleleh), maka hanya bunga yang digunakan pada saat puja
(pemujaan). Di rumah pemujaan seharusnya diikuti dengan annadaana (memberikan
makanan pada orang yang tidak punya selain juga teman dan sanak keluraga.
Dhupa, deepa dan naivedya serta japa harus dilakukan. Untuk menghasilkan tujuan
puja tertentu, terdapat hari tertentu dalam seminggu dan tithis pada malam
tertentu yang bersifat khusus.
Bindu—Nada Lingga
Bindu adalah titik, atau tetes – adalah shakti. Nada adalah suara – yang adalah
Siwa- dan seluruh jagat raya menyerap ke dalam nada. Nada adalah dasar dari
penciptaan dan lingga adalah kesatuan dari keduanya—Shiva dan Shakti. Maka
tidak ada bedanya antara Siwa dan Shakti. Lingga Siwa bermanifestasi dalam enam
cara dan masing-masing memiliki dua aspek.
Suara ‘A” adalah lingga achara dan Lingga Guru; suara ‘u’ adalah guru lingga
dan chara lingga. Suara ‘m’ adalah suara dari Lingga Siwa dan Lingga Yantra.
Bindu adalah Lingga Chara dan Lingga Bindu. Nada adalah prasada mantra lingga
dan lingga pranawa. Terdapat empat cara kunci untuk mendapatkan berkah: memakai
rudraksha, menggunakan abu suci, mengulangi panchakshari Siwa dan memuja Siwa (
di kuil, di rumah atau di Khsetra). Pemuja yang sebenarnya memuja dengan tulus.
Orang yang seperti itu akan mencapai mukti dan mendapatkan Sayujya Siwa.
Akibat Pengucapan pranawa dan
Panchaksari
Para rsi dan orang suci bertanya pada Maharsi Suta untuk memberikan mereka
pencerahan tentang Siwa Panchakshari.
Kata Suta Pauranik:
Hanya Siwa yang bisa menjelaskan tentang Panchaksari secara lengkap tetapi aku
akan berusaha sebaik mungkin.
Siwa sendiri adalah yang bisa membantu kita untuk melewati lautan kehidupan
duniawi. Nava adalah perahu; Pranawa itu ada dua jenis: yang makro (sthula) dan
mikro (suksma). Suksma memiliki satu huruf dan sthula memiliki lima huruf.
Terdapat tiga tahap, tingkatan yaitu: kriya yoga, tapa yoga dan japa yoga. Satu
tapoyogi lebih agung dari sepuluh kriya yogi dan sebuah japa yogi lebih agung
daripada sepuluh tapoyogi. Bagi mereka yang adalah pemuja Siwa, walaupun ada
grihasta (tahap hidup berumahtangga), Panchakshari sendiri adalah sthula
pranawa, wujud makro pranawa seseorang.
Bandha Moksha (Ikatan dan
pembebasan)
Suta menjelaskan lebih jauh lagi apa yang dimaksud dengan Bandha dan Moksha.
Prakirthi (alam), buddhi (intelek) dan ahamkara (kebodohan) dan panchabutha
(lima unsur) – inilah ikatan. Ia yang terikat dengan semua ini adalah yang
terikat. Pada saat seseorang hidup maka seseorang itu secara literal terikat
oleh delapan ikatan ini.
Ia yang mengerti hal ini adalah orang yang terbebaskan – Ia yang mencapai
pembebasan atau moksha.
Jiwa adalah ikatan dan tubuh akan mengalami siklus seperti sebuah roda. Hanya
Siwa yang melampaui prakirti. Untuk bebas dari ikatan ini seseorang harus
mencari perlindungan terhadap Siwa sendiri. Dengan cara seperti itu, maka
berkahnya akan diperoleh. Bahkan, untuk-Nya yang sempurna dan tanpa kesadaran
(Siwa adalah yang tidak memiliki spruha- kesadaran; Ia adalah nispruha.
Sebenarnya puja tidak perlu dilakukan untuknya. Tetapi puja dilakukan untuk
menghormatinya karena Ia adalah niraakaara dan nirguna. Ia akan menjadi saguna
dan sakara untuk memberkahi pemujanya. Dengan berkahnya segalanya akan
terkendali. Tubuh dan tindakan ketika dikendalikan, maka keberadaan akan
menjadi semakin berevolusi dan berkembang. Masing-masing perkembangan itu atau
jiwa itu akan mendapatkan salokya – berada di loka yang sama dengan Siwa.
Kemudian Ahamkara tersingkap dan buddhi berkembang. Ketika chitta (hati-
pikiran – intelek) terkendali, maka manusia menjadi seorang yogi. Orang yang
seperti itu akan memiliki wujud yang sama bahkan dengan Siwa sendiri (Sarupya).
Terkecuali Shivapujan, tidak ada cara lain untuk mendapat pembebasan dari
ikatan. Diantara chara lingga, Rasa lingga adalah yang terbaik untuk Brahmana.
Sedangkan untuk kshatriya adalah banalingga, bagi Wesya adalah swaran lingga
dan Siwa lingga untuk sudra. Bagi Suhagana (wanita suci yang menikah) lingga
dari tanah liat dan bagi yang sudah menjadi janda, lingga dari kristal adalah
yang terbaik. Bagi mereka yang menghindari perbuatan buruk, selalu ada di jalan
Dharma, bisa memuja Siwa pada tangan kirinya sebelum makan. Setelah
menghaturkan makanan pada lingga (naivedya) mereka boleh makan. Lingga bisa
digantung di leher kita sebagai kalung. Inilah yang diajarkan padaku oleh Rsi
Wedavyasa dan aku meneruskan apa yang ia telah ajarkan padaku kepada kalia
semua. Semoga kalian semua mendapatkan berkah Dewa Siwa.
Itulah yang dikatakan Suta.
Pahala memuja Parthivalingga
Wahai para Rsi dan Orang suci!
Dari semuanya lingga yang terbuat dari tanah liat adalah yang terbaik. Hanya
melalui pemujaan Parthivalingga, Brahma, Wisnu dan Indra bisa memperoleh
berkah. Pada jaman Kritayuga, lingga dari permatalah yang digunakan, dan pada
jaman Tretayuga lingga yang terbuat dari emaslah yang dipuja. Pada jaman
Dwapara yuga, Rasalinggalah yang dipakai dan pada jaman Kaliyuga,
Parthivalinggalah yang dikatakan sebagai yang terbaik. Dalam pembuatan
Parthivalingga tidak ada pantangan tertentu dari panca sutra. Tanah liat ini
dipakai untuk membuat lingga, secara keseluruhan. Tetapi mereka yang
memasangkannya (meletakkannya) pada suatu tempat haruslah dua orang. Bagi
mereka yang mengetahui lingga mahawidya, linggam sendiri adalah Mahadewa.
Sebuah prosedur telah ditetapkan dalam kitab suci dan sastra dalam melaksanakan
atau menghaturkan ritual dengan enam belas upachara.
Keinginan dan jumlah lingga yang
harus dipuja untuk pemenuhannya
Mereka yang menginginkan kemajuan dalam bidang pendidikan harus memuja ribuan
parthivalingga. Mereka yang menginginkan kekayaan harus memuja lima ratus
lingga, mereka yang menginginkan keturunan laki-laki harus memuja seribu lima
ratus lingga, mereka yang menginginkan pembebasan harus memuja ribuan lingga
dan bagi mereka yang menginginkan tanah (properti), lima ratus buah dan yang
seterusnya. Hanya dengan menghaturkan sembah pada lingga, seseorang akan bebas
dari kesedihan dan juga keraguan.
Tidak ada cara yang lebih baik ataupun lebih mudah selain menyeberangi
gelombang kehidupan yang amat besar sengan memuja Siwa. Dikatakan hanya dengan
melakukan pemujaan yang bisa membuka mata mereka yang buta atas kebodohan dan
kesenangan duniawi. Tiga material penting dalam memuja Siwa adalah i) Abu Suci
ii) Rudraksha dan iii) daun bilwa (bilwa patra).
Daun Bel (bilwa) adalah perwujudan Dewa Siwa. Dipercaya bahwa pada akar pohon
ini, semua tempat suci atau peziarahan berada. Jika seseorang melakukan
pemujaan di bawah pohon ini, akan merangsang pertumbuhan Vamsha (keturunan).
Mereka yang menyalakan lampu pada pohon ini akan mendapatkan Jnana Siwa. Jika
seorang Brahmana diberikan makanan di bawah pohon ini maka akan memberikan
pahala sama seperti memberikan makanan pada seribu orang lebih. Mereka yang
memberkan nasi (nasi yang dimasak dengan susu – paramaanna dan ghee, tidak akan
pernah menderita kemiskinan.
Pahala bagi yang menggunakan abu
suci
Bashma – abu suci, terdapat dua jenis: swalpa bhasma dan mahabhasma. Dari kedua
shrauta, smarta dan laukila vibhuti terlahir. Brahmana, kshatriya dan Vysyas
mengoleskan abu ini dengan mantra yang mengagungkan Dewa Siwa.
Semua dosa dan perbuatan buruk akan dibersihkan dengan mengoleskan abu suci ini
membentuk tiga garis pada dahi (tripundra).
Untuk Siwapuja paling tidak dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu abu
suci dan rudraksha – benih pohon Cedar.
Mengunjungi mereka yang memiliki keduanya (bhasma dan rudraksha) akan membuat
si pengunjung membersihkan dosanya. Mereka yang tidak mengoleskan abu suci,
tidak memakai Rudraksha dan tidak mengucapkan nama Dewa Siwa dengan penuh
pengabdian, adalah orang yang paling buruk – begitulah yang dikatakan orang
bijaksana dan mulia.
Keampuhan Rudraksha – cara
memakainya
Setelah menjelaskan keagungan dan keampuhan (mahima) rudraksha, Maharsi Suta
ditanyai lebih jauh lagi mengenai benih suci ini.
Suatu kali Rudra melakukan tapasya, pernungan yang berlangsung selama
bertahun-tahun. Ketika ia mencapai kesadaran akan sekelilingnya dan membuka
matanya beberapa titik air mata jatuh. Satu butir air mata itu jatuh di daerah
Gowda dan yang lainnya sampai ke Mathura, Ayodya, Lankapatna, Gunung Malaya,
Sathyagiri dan Kashi. Air-mata yang jauh ini seketika itu juga menjadi
rudraksha. Karena berasal dari mata Siwa, maka disebutlah sebagai Rudraksha.
Rudraksha sangat ampuh menghapus kesedihan semua maklhuk.
Siwa, yang Maha pengasih, memberikan Rudraksha ini pada pemuja dari semua
kasta. Rudraksha dengan ukuran sebuah biji regu (Zizyphus jujuba) akan
memberikan ketenangan dan kekayaan. Yang memiliki ukuran sebuah biji
Gooeseberri (amla) akan mengurangi keburukan. Yang memiliki ukuran seperti
sebuah guru-vinja (sebuah biji kecil, yang berwarna merah pada ujungnya dan
berwarna hitam pada bagian bawah, akan memenuhi semua keinginan hati
pemakainya. Rudraksha lebih ampuh ketika ukurannya kecil. Bisa dipakai seperti
seutas tali untuk japa (mengulangi nama dewa).
Ini bukan berarti bahwa semua rudraksha itu bisa digunakan semuanya. Yang
memiliki biji yang bulat, kuat dan kokoh adalah yang baik. Yang bijinya cacat,
patah dan tidak bulat tidak bisa dipakai. Tidak baik dipakai memuja.
Yang tidak memiliki lubang, tidak baik dipakai. Mereka yang memakai seribu
seratus rudraksha akan menjadi rudra swarupa.
Muni Suta kemudian memberitahu semua rsi dan orang-orang suci berapa banyak
rudraksha yang harus dipakai, dimana memakainya, kapan dan bagaimana caranya.
Mereka yang menggunakannya harus memathui beberapa prinsip utama. Mereka harus
mengucapkan mantra juga ketika memakainya.
Terdapat empat belas jenis rudraksha bergantung dari jumlah wajah yang
dimilikinya. Yang memiliki empat belas adalah perwujudan Parameshwara sendiri.
Setelah menjelaskan semua, Maharsi Suta mengatakan pada semua rsi dan orang
suci bahwa ia telah menjelaskan tentang keampuhan, kekuatan dan kejayaan bilwa,
bhasma dan rudraksha dan memperlihatkan pada mereka prosedur yang harus dilalui
ketika memakainya. Ini adalah akhir dari Vidyeshwara Samhita.
Akhir dari
bagian pertama Vidyeshwara Samhita dalam
Siwa
Purana yang terdiri dari tujuh samhita.
RUDRA SAMHITA
Muni Suta kemudian lebih jauh lagi
menceritakan Samhita baru yang bernama Rudra Samhita.
Tapasya
Narada dan Keangkuhannya
Suatu kali Narada melakukan tapasya yang kusyuk sehingga surgawi berguncang.
Indra mengirimkan Manmadha dan memerintahkannya untuk mengganggu dan membuat
konsentrasi Narada buyar saat ia melakukan tapasya.
Narada duduk di tempat dimana sebelumnya di tempat itu, Ia telah dibakar oleh
mata ketiga Dewa Siwa. Pada saat itu, Dewa Siwa mengatakan bahwa tempat ini
akan membuat mantra Manmadha tidak ampuh dan bekerja. Narada tidak tahu
akan hal ini.
Setelah beberapa saat Narada membuka matanya dan mengetahui apa yang telah
terjadi. Terpengaruhi oleh maya, ia berpikir bahwa kekuatannyalah yang bisa
mengalahkan Manmadha. Ia mengira bahwa tapasyanya telah membuahkan hasil. Ia
menghentikan diksha-nya dan pergi ke Kailasha. Ia menghadap Siwa dan mengatakan
bahwa ia telah mengalahkan Manmadha.
Siwa merasa kasihan dan menenangkan Narada yang berapi-api. Sankara yang
memiliki tiga mata menyarankan Narada untuk tidak terlalu bangga, sombong dan
memuji dirinya sendiri. Ia kemudian memberikan penghormatan pada Siwa dan pergi
ke Satyaloka, untuk mengunjungi ayahnya Brahma. Ia mengulangi apa yang telah ia
ceritakan pada Siwa dengan kesombongan yang sama. Brahma juga mengingatkan
Narada tetapi Narada pergi ke Wisnuloka. Narayana sendiri datang untuk
memberikan penghormatan pada Narayana.
Wisnu mendengarkannya sesaat dan menyadari bahwa Narada telah melihat maaya –
Siwa. Ia juga memuji Narada, yang membuatnya semakin sombong. Ini membuat
Narada semakin membual tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Kemudian ia
meminta ijin pada Wisnu untuk pergi dan kemudian berkelana ketiga Loka.
Maaya Wisnu dan kesombongan Narada
yang runtuh
Saat Narada pergi, Dewa Wisnu menciptakan dengan kekuatannya sebuah ilusi,
sebuah kota, seorang raja dan seorang putri. Narada sampai ke kota itu.
Raja kota itu bernama Silanidhi menyuruh putrinya, Srimati untuk menyambut
Maharsi. Raja meminta maharsi untuk memberikan berkah pada putrinya dengan
nasib yang baik pada malam Swayambaranya (memilih suami sendiri). Narada
sendiri sangat tertarik dengan gadis ini. Kekuatan Manmadha pada dirinya tak
tertahankan. Ia sangat ingin memilikinya sebagai istri. Ia juga memutuskan
untuk menjadi suami dengan mengawininya.
Narada menemui wisnu untuk meminta tolong. Ia memohon Wisnu untuk memberikan ketampanannya.
Narayana sendiri terseyum dan berubah menjadi seorang pria yang sangat tampan.
Tetapi wajahnya berbeda. Karena Narada tidak melihat wajahnya, ia tidak tahu
bagaimana sebenarnya wajahnya itu. Wisnu juga disebut dengan Hari; Hari berarti
selain arti yang lain, juga berarti kera. Narada menjadi sangat gagah namun ia
berwajah kera.
Narada pergi ke Swayambara itu itu. Dua pendeta duduk di samping Narada, juga
yang adalah maaya. Pada saat yang sama Wisnu sendiri datang ke Swayambara itu.
Srimati tidak melirik siapapun, kecuali Dewa Wisnu dan menjatuhkan kalungan
bunganya pada leher Dewa Wisnu dan menjadikan Dewa Wisnu pasangannya.
Narada, telah ingin memiliki Srimati, pertama kali melihatnya. Pendeta yang
berada di sampingnya meminta Narada melihat wajahnya di cermin. Narada melihat
wajah seekor kera. Dalam amarah yang besar, Ia ingin membalas perbuatan Dewa
Wisnu, bahkan ia ingin mengutuknya. Ia juga mengutuk dua brahmana yang menyamar
untuk terlahir sebagai raksasha. Karena masih marah iapun pergi ke Vaikunta
untuk mengutuk Wisnu.
Kutukan Narada pada Wisny
Begitu Narada sampai di Vaikuntha, ia menuduh Dewa Wisnu menipunya. Begitu ia
melihatnya, ia langsung mengutuknya. “ Seperti engkau menipuku gara-gara seorang
wanita, dengan menyamar menjadi raja, engkau juga akan menderita karena
berpisah dengan seorang wanita, kau juga akan menderita sebagai manusia, yang
terpisah dari pasangan hidupmu. Dan dengan wajah kera seperti yang kau berikan
untukku maka engkau akan dibantu untuk menyatu dengannya lagi”.
Dewa Wisnu menenangkan Narada. Kemudian ia memuja Dewa Siwa. Saat itu juga Siwa
membebaskan Narada dari pengaruh ilusi. Narada tenang kembali. Kemudian ia
sadar dengan apa yang terjadi. Iapun memohon ampun pada Dewa Wisnu. Kemudian
Dewa Wisnu mengatakan bahwa itu semua adalah lila Dewa Siwa. Ia memberitahunya,
seorang jnani harus selalu memuja Siwa, Ia yang menaklukkan kematian
mrutyunjaya. Atas nasehat Wisnu, Narada memohon pada Brahma untuk mengajarinya cara
memuja dan memperoleh berkah Dewa Siwa.
Brahma memberikan Siwajnana pada
Narada
Kata Brahma:
Narada! Anakku Aku dan Narayana, tidak memiliki pengetahuan yang penuh tentang
Siwa Jnana. Siwa adalah keajaiban dari semua keajaiban.
Pada saat pralaya segalanya akan dihancungkan. Tidak akan ada siang ataupun
malam. Tidak akan ada unsur apapun (panchabhoota) atau panchatanmatra. Kamudian
Ia yang tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk, wujud dan evolusi, Ia yang
bersinar, tanpa akhir dan abadi. Ilah Siwa, Ialah Siwa.
Parama ini (yang mutlak, pasti dan abadi) akan menciptakan sebuah murti- untuk
memulai sekali lagi dan memberinya nama Sadasiwa. Bersama dengannya akan ada
Shakti – dua kekuatan yang adalah satu.
Shakti ini atau Sakaleshwari memiliki satu wajah dan Sadasiwa memiliki lima
wajah. Siwa dalam wujud cahaya dan terang. Siwa tinggal bersama dengan
Sakaleshwari. Itulah Shivaloka, Kashi dan Anandavana. Di tempat itu, mereka
mengaduk lautan chitta (pikiran-hati-intelek) dan disebelah kirinya ada aliran
air kehidupan. Kemudian makhluk yang sangat tampan, damai, memegang teguh
kebenaran, Ia yang menggunakan busana yang sangat indah dan memiliki lengan
yang amat kuat. Ia berdoa pada Siwa untuk memberinya nama dan Ia diberi nama
Wisnu – yang menyerap ke dalam semuanya. Dewa Siwa kemudian meminta Wisnu untuk
melakukan meditasi (tapasya). Ia melakukan tapa selama dua belas ribu tahun
surgawi. Bahkan pada saat itupun ia belum mendapatkan berkah Siwa. Suara langit
(akashvani) memintanya terus melanjutkan tapasya-nya. Setelah sekian lama, maya
Siwa menciptakan aliran sungai dan aliran itu mengalir melalui Wisnu. Ketika ia
berbaring, air itu terlihat begitu menggoda. Karena lelah karena tapasya yang
ia lakukan dan juga kekaguman akan beningnya air itu, Wisnu tertidur. Karena ia
tidur saat melihat air sebagai ayana maka iapun diberi gelar Narayana – ‘Nara’
artinya air.
Sebelum Narayana sadar akan tiga guna (satwik, rajasik dan tamasik) ahamkara,
kelima unsur (panchabhuta) dan lima tanmatra dan jnana dan karmendriya- dalam
ke dua puluh empat tattwa ia menjadi manusia. Ia sendiri adalah Chaitanya. Yang
berbeda darinya adalah bahwa ia adalah air, air dan air.
Pertikaian antara Brahma dan Wisnu-
bermanifestasilah Siwa
Dari atas pusar Narayana, sebuah lotus muncul sedangkan ia tidur terus menerus
untuk waktu yang lama tanpa akhir. Sejak saat itu ia diberi gelar sebagai
Kamalanabha.
Saat ini terjadi, batang dibawah lotus terus berkembang dan membentuk hingga ke
daerah selatan. Siwa menciptakan Brahma dan meletakkannya pada lotus yang
tumbuh pada pusar Wisnu. Oleh karena itu Brahma kemudian diciptakan dengan lima
wajah, ia kemudian dikenal dengan Brahma yang memiliki empat wajah (Chaturmukha
Brahma). Karena ia memiliki emas pada perutnya oleh karena itu ia disebut
dengan Hiranyagarbha. Karena tinggal di dalam bunga lotus itu, Brahma tidak
mengetahui apa- apa selain lotus itu. Ini semua adalah maya Siwa. Karena ingin
mengetahui dimana ujung tangkai bunga lotus, iapun memanjat selama ratusan
tahun, dan tidak tahu dimana tangkai itu berawal. Tangkai itu terus tumbuh. Ia
kemudian melakukan perjalanan selama ratusan tahun juga tetapi tetap saja belum
menemukan bunga. Kemudian ia mendengar suara suci dan memutuskan untuk
melakukan tapasya. Ia kemudian bisa melihat Wisnu, dan Ia sangat kagum dengan
keagungan Wisnu. Pada saat itu Brahma menangkap Dewa Wisnu saat ia tidur. Wisnu
mencoba untuk menjelaskan pada Siwa tetapi Brahma mengatakan bahwa Ialah
pencipta. Ia terlahir sendiri, dan bukan melalui Wisnu. Pertikaian ini terus
berlanjut dan Wisnu kemudian semakin ingin menjelaskan. Pertikaian ini terjadi
dalam waktu yang cukup lama. Siwa kemudian berubah menjadi pilar api. Ia muncul
sebagai lingga. Kemudian Brahma dan Wisnu tidak berada dalam pengaruh maya Siwa
lagi. Kemudian mereka berdua memuja Siwa. Siwa sangat terkenan. Bagian selatan
lingga seperti huruf pertama ‘a’. Di bagian utara seperti ‘u’; ‘m’ seperti
chandramandala – lapangan yang menyerupai bulan. Diatasnya terdapat ananda-
kesenangan- yang dipenuhi dengan Kenyataan yang Mutlak. Inilah yang
memperlihatkan Siwa-tatwa. Kemudian muncullah seorang rsi. Ia kemudian
menjelaskan pada Brahma dan Wisnu bahwa Mahadewa adalah manifestasi dari Shabda
– suara dan Paramatma diatas, baik manas ataupun vaak. Ia adalah semua alasan
dari semua yang ada. Ia disebut dengan ‘om’ (Ia adalah laki-laki, perempuan dan
juga benda). Dari ‘a’ ‘u’ ‘m’, Brahma Wisnu dan Maheswara muncul dengan membawa
tiga fungsi penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran. ‘M’ adalah prinsip
kewanitaan dan ‘a’ adalah laki-laki dan ‘u’ adalah kshetra- medan. Nada –
suara- adalah penghubungnya. Kemudian muncullah Brahmanda dan terendam dalam
hujan surgawi, Brahmanda dibagi menjadi dua: bagian atas seperti dunia atas dan
bagian bawah seperti dunia manusia dan lain sebagainya. Pada saat sang rsi
menceritakan hal ini, pendengar mendengarkan dengan penuh seksama. Dan kemudian
dengan berbagai perhiasan, kulit yang berwarna keabu-abuan, memiliki lima wajah
dan sepuluh tangan, seorang pria pemberani muncul dengan tersenyum: ‘a’ adalah
mahkota, ‘aa’ adalah dahi dan lain sebagainya. Semua aksara suci ini ada pada
makhluk surgawi ini. Makhluk ini memiliki semua nyanyian surgawi dan juga
mantra yang lainnya. Wisnu kemudian membentuk semua. Beberapa membentuk Isana,
tataparusha, aghora, vamadewa, sadyojata dan bentuk dari semu mantra muncul
sebagai Parabrahma omni-huruf. Brahma dan Wisnu kemudian menyebut shabda
parabrahma sebagai lokeshwara, Makhluk yang tertinggi.
Siwa mengajari Brahma dan Wisnu
Paramasiwa yang menyerap dalam semua, melalui pengetahuannya memberikan Brahma
dan Wisnu semua Weda. Kemudian Dewa Brahma dan Wisnu mengajarkan mereka cara
memuja-Nya dan cara mencapai kediamannya.
Kata Siwa pada mereka:
Meditasi dan perenungan padaku dan keagunganku akan menjadi sangat suci dan
memberikan anugerah. Pujalah lingga yang berada dihadapanmu. Aku akan memenuhi
keinginan semua pemuja dalam wujudku ini. Pemujaan dengan menggunakan Lingga
adalah yang termudah dan terbaik.
Brahma! Menciptalah. Aku akan muncul dari dahimu sebagai Rudra. Uma berada
dalam diriku adalah prakruti. Bentuk kedua prakruti, Saraswati akan di bawa
oleh Wisnu,bentuk yang ketiga adalah Lakshmi, akan dibawa oleh Wisnu. Bentuk
lain adalah Kaali, bentuk yang diambil oleh Wisnu. Bentuk yang lain adalah
Kali, wujudku yang akan tertarik pada Rudra pada medan internal dan eksternal
yang dipenuhi dengan Rajoguna. Keempat Warna dan keempat ashrama diciptakan
olehnya berada di dalam tamoguna dan diluar wujud Rudra adalah Satwa tetapi
muncul sebagai tamoguna. Rudra akan mengambil fungsi yang ketiga, penghancuran.
Wisnu dan Brahma akan memuja-Ku dan kalian berdua akan memuja Rudra. Bahkan,
tidak ada perbedaan diantara ketiganya. Karena lila-Ku Trimurti akan menjadi
satu dan sama. Pemuja Siwa manapun yang menyalahkan salah satu dari Trimurti
maka akan kehilangan punia (pahala baik). Dengan melindungi kebaikan dan
memberikan pemuja kenyamanan dan kemewahan, kalian berdua jalankanlah tugas
ini.
Narayana! Tanpa menyakiti ciptaan Brahma, membunuh, mengambil berbagai wujud,
menarik pemuja yang sangat banyak lakukalah kewajibanmu. Jika ada yang bisa aku
lakukan maka akan aku lakukan. Kemudian merekapun menentukan ayush-kala.
Waktu yang ditentukan oleh Siwa
Bagi Brahma, empat ribu tahun yuga adalah sehari dan empat ribu tahun yang lain
adalah satu malam. Tiga puluh hari – dua lakh empat puluh ribu tahun adalah
sebulan. Dua belas bulannya adalah setahun. Umur Brahma adalah ratusan tahun
seperti ini. Dua puluh lakh delapan puluh ribu adalah satu hari bagi Wisnu dan
umur Wisnu adalah ratusan tahun. Jika satu tahun Wisnu- melewati sehari- untuk
ratusan tahun dengan hari seperti ini, Rudra menjadi Nara (manusia) dan
tenggelam dalam diriku.
Kemudian aku akan ada. Dari tarikan nafasku, Shakti yang agung akan muncul.
Dari hembusan nafasku Brahma, Wisnu dan Maheswara dan raja lain seperti Garuda,
Uraga dan Gandharwa akan muncul (terlahir).
Enam penarikan nafas adalah satu kshana (saat). Enam puluh kshana adalah satu
jam. Dua puluh jam seperti ini adalah satu hari. Bahkan aku tidak bernafas. Aku
tidak menarik atau menghembuskan nafas. Aku melampaui semua hal, semua
pengukuran, Aku tidak berakhir, abadi.
Setelah mengatakan semua itu ia memberikan semua yang bisa ia ajarkan. Sejak
saat itu pemujaan lingga dilakukan. Mereka yang membaca cerita ini di hadapan
lingga selama enam bulan akan mencapai Siwarupa.
Prosedur untuk Pemujaan Siwa
Seperti yang disebutkan dalam kitab suci, terdapat prosedur pembersihan-
dimulai dengan menggosok gigi, mandi dll. Kemudian pada saat menghaturkan
upacara- ritual, yang jumlahnya enam belas- mantra tertentu harus diucapkan.
Upacara ini adalah: dhyana, avahana, arghya, paadya, snana, vastram,
yajnopavitram, dhoop, deep, naivedya dll dalam urutan tertentu.
Beberapa dewa menghaturkan pemujaan pada Lingga dalam beberapa hari bergantung
dari lingga yang dibuat. Lingga bisa dibuat dari permata (batu berharga), emas,
perak atau bahkan tanah-liat.
Dari semuanya, yang paling berharga dan sangat ampuh adalah Bhavalingga, yang
terdapat pada Bhaa – pada pikiran. Tetapi ini hanya memungkinkan bagi seorang
yogi dari jajaran tertinggi. Manusia biasa hanya bisa memuja sthula Lingga
(lingga biasa).
Untuk memenuhi keinginan, bunga dalam jumlah tertentu dihaturkan. Tidak hanya
bunga saja, tetapi juga biji-bijian yang digunakan dalam Shivarchana – pemujaan
Siwa untuk mencapai tujuan tertentu dan memenuhi keinginan pemuja.
Abhiseka – adalah memandikan patung dewa dengan air, susu, madu dan gula serta
sari buah dll dan juga air dari sungai Gangga – ini akan menghasilkan pahala
yang baik dan juga berkah dari surgawi.
Awal Penciptaan
Suta Muni melanjutkan:
Para Rsi dan orang suci!
Setelah memanifestasikan lingga dan mengajarkan pelajaran pada Brahma dan
Wisnu, Siwa menghilang. Kemudian Brahma memulai penciptaan dengan bantuan
Wisnu. Wisnu menuju Brahmanda dan tinggal disana.
Kemudian Brahma menciptakan telur yang sangat besar dengan dua puluh empat
tattwa. Itulah viratrupa – wujud makro. Tidak tahu dengan apa yang harus
dilakukan, Brahma meminta nasehat Wisnu. Wisnu bermanifestasi dihadapan Brahma.
Wisnu, menjadi tak berwujud, ia masuk ke dalam telur. Ketika ribuan tangan,
kaki dan kepala memasukinya telur ini mengalami kesadaran.
Brahma memulai penciptaan kembali. Kemudian lahirlah awidya (kebodohan), tamas
(kegelapan) dan semuanya. Kemudian muncullah pepohonan, gunung dan semua benda
diam (sthaavara). Burung-burung dan binatang liar mengikuti. Kemudian muncullah
manusia. Dengan semua ini Brahma sangat bahagia.
‘Sargam’ adalah tatwa penciptaan yang agung. Suksma Panchabhuta dan Panchakrita
bhuta adalah jenis pembentukan. Ketiganya, lima unsur dan lima mahattwam
semuanya menjadi delapan penciptaan awal. Yang kesembilan adalah kaumara. Dalam
keadaan ini Sanaka, Sananda dan orang suci lainnya terlahir. Brahma meminta
mereka ikut dalam penciptaan. Tetapi mereka tidak mau dan pergi. Brahma merasa
kecewa karena ciptaannya tidak mau mematuhinya. Ia sangat sedih dan atas saran
Wisnu, Iapun memuja Siwa.
Munculnya Rudra
Dari mata Brahma muncullah Maheswara sebagai ardhareehwara (setengah laki-laki
dan permpuan). Bersamanya ia menciptakan rudra gana – kelompok pelindung.
Inilah cerita tentang munculnya Rudra, Ia yang menghancurkan semua dosa.
Brahma memuja-Nya dan berdoa bagi penciptaan yang adalah subyek kelahiran, umur
tua dan penyakit. Tetapi Rudra mengatakan bahwa yang ia lebih sukai adalah
membebaskan manusia dari kesedihan dan mengangkat mereka. Ia memberitahu Brahma
untuk menciptakan manusia seperti yang ia sarankan dan memberikan ia anugerah.
Setelah itu Rudra pergi.
Susunan Srishti (Penciptaan)
Penciptaan Brahma dimulai lagi. Lima mikro yaitu shabda, sparsha, rupa, rasa
dan gandha (suara, sentuhan, rasa dan bau) bersatu dengan lima unsur makro.
Kemudian muncullah sifat statis dan dinamis. Dari matanya muncullah Marichi,
Bhrugu muncul dari jantungnya, Angirasa muncul dari kepalanya dan lain
sebagainya.
Kemudian, diinspirasi oleh Siwa, ia mengubah setengah dari dirinya untuk
menjadi permpuan, sedangkan setengah dari dirinya sebagai pria. Dari keduanya
kemudian lahirlah Swayambhu Manu adan bersama dengannya seorang yogini yang
bernama Shatarupa. Kemudian keduanya disatukan oleh Brahma. Mereka memiliki
putra Priyavrata dan Uttanapada, dua putra dan tiga putri; Akuti, Devahuti dan
Prasuti. Akuti menikah dengan Ruchi, Devahuti menikah dengan Kardama dan
Prasuti menikah dengan Daksha.
Dari Akuti dan Ruchi, lahirlah Yajna dan Dakshina. Mereka dinikahkan dan
memiliki dua belas putra. Devahuti dan Kardama memiliki dua belas putri.
Prasuti dan Daksha memiliki dua puluh empat putri. Ketiga belasnya menikah
dengan Dharma. Mereka adalah; Shraddha, Lakshmi, Dhriti, Tushthi, Pushthi,
Medha, Kriya, Buddhi, Lajja, Vasuvu, Santhi, Siddhi, dan Kirti. Sebelas yang
tersisa; Khyati dengan Bhrigu, Niti dengan Dharma, Sambhuti dengan Marichi,
Smriti dengan Angirasa, Priti dengan Paulasthya, Kshama dengan Pulaha, Sannuti
dengan Kratu, Anurupa dengan Atri dan Vurja dengan Vasistha, Swaaha dengan Agni
dan Suddha dengan Daksha.
Juga dipercaya bawa Daksha memiliki enam puluh putri. Tetapi pada masing-masing
kalpa, kejadian yang muncul berbeda. Tetapi cerita dasarnya tetap sama. Dari
keenam puluh putrinya, Daksha memberikan sepuluh diantaranya pada Dharma, dua
puluh tujuh pada Chandra, tiga belas diantaranya pada Kashyapa, empat
diantaranya pada Garutman, dan satu pada masing-masing orang yaitu pada Bhrigu,
Angirasa dan Krishaasva.
Yang lebih penting lagi, Kashyapa dengan anaknya yang terlahir dari tiga belas
istrinya memenuhi dunia. Ia memenuhi semua dengan sthavara dan jangama, statis
dan dinamis. Dewata, rsi, raksasa, pohon-pohonan, burung dan pegunungan serta
ular adalag keturunan Kashyapa. Itulah mengapa semua ciptaan disebut denan
Kashyapi dan bumi juga disebut dengan Kashyapi.
Siwa menerima putra Daksha Sati. Haruslah dicatat bahwa Wisnu terlahir dari
bagian kiri Sarveshwara, Dhata dari kanan dan Rudra dari jantungnya. Haruslah
dicatat ketiganya adalah sama. Adishakti sendiri menciptakan Lakshmi, Saraswati
dan Dakshayani pasangan ketiga dewa ini. Lakshmi adalah Tamas, Saraswatu adalah
Rajas dan Sati adalah Satwa.
Kaalika, Chamunda, Jaya, Vijaya, Jayanthi, Bhadrakaali, Durga, Bhagwathi,
Kameswari, Kamada, Amba, Mridani, Ambika, Sarvamangala- semuanya adalah nama
dari Sati Dewi yang agung. Nama yang berbeda berasal dari ‘lila’nya.
Di Siwaloka, Siwa bersama dengan Adishakti dalam penyatuan. Parameshwara berada
dalam manifestasi – Purwa awatara. Ia tinggal di Kailasha. Segalanya mungkin
akan sirna namun Kailasha akan ada selamanya dan abadi.
Sehingga Narada diajari oleh Brahma dan kemudian diteruskan oleh Muni Suta pada
Saunaka dan rsi serta orang- suci lainnya.
Suta juga memberikan para rsi dan orang suci lainnya seratus delapan nama Siwa
dalam pemujaanya. Ia juga menjelaskan arti dari seratus delapan nama itu.
Cerita Gunanidhi
Narada bertanya pada Brahma kapan Siwa akan pergi ke Kailasha, bagaimana
caranya dan mengapa ia bersahabat dengan Kubera dan lila apa yang ia mainkan
ketika berinkarnasi Maheswara. Kata Brahma pada Narada dan juga Muni Suta serta
pada Saunaka.
Pada jaman dahuludi kota Kampilya hiduplah seorang Brahmana yang bernama
Yajnaduta. Ia diberkahi dengan memiliki seorang putra yang ia berinama
Gunanidhi – harta karun yang berharga. Setelah melalui sebuah upacara upanayana
kemudian ia kemudian dikirim pada seorang guru. Anak ini tumbuh menjadi dewasa
dan iapun berteman dengan orang yang jahat. Ia memiliki banyak sekali kebiasaan
buruk. Ayahnya, yang selalu sibuk tidak pernah memiliki waktu untuk anaknya.
Ibunya terlalu mencintai anaknya dan memanjakannya.
Kemudian Gunanidhi menjadi seorang penjudi dan juga orang yang jahat. Ia
menghabiskan semua uangnya. Kemudian ia mencuri barang-barang dan menjualnya.
Ia menghabiskan semua uangnya dalam perjudian. Suatu kali ketika akan mandi,
ayah Gunanidhi memberikan pada istrinya cincin berlian. Dan Ia lupa dimana
meletakkannya, hingga Gunanidhipun mencurinya dan menjualnya. Semua uangnya ia
habiskan dalam perjudian. Gunanidhi tanpa sengaja melihat cincinnya pada jari
tangan orang lain dan menanyai orang itu. Yajnadutta tahu bahwa anaknya telah
menjadi seorang berandal dan seorang penjudi. Takut ayahnya menghukumnya,
Gunanidhi pergi dari rumahnya.
Dalam beberapa hari Gunanidhi bahkan tidak memiliki uang yang bisa ia pakai
untuk makan. Pada saat ia duduk di bawah pohon, marah dan sangat lapar,
hidungnya bisa menciumnbau makanan yang amat lezat, makanan yang akan di bawa
ke Mandir Siwa. Ia mengikuti pemujanya ke kuil. Ia menunggu saat yang tepat
untuk mencuri makanan itu. Ia melihat pemujaan itu dari kejauhan. Setelah semua
orang tidur ia menyelinap mencuri makanan. Lentera nyaris padam. Ia kemudian
menyobek pakaian dalamnya. Mencelupkannya pada minyak dan membuat lentera kecil
itu menyala lagi. Ia memasukkan makanan ke dalam bungkusan yang ia bawa dan
kemudian ia menginjak seseorang hingga orang itupun menangis dan berteriak. Ia
tertangkap dan dipukul dengan sebatang tongkat. Kepalanya pecah dan iapun mati
seketika.
Ketika utusan Dewa Kematian, Yama datang untuk menjemput suksma prana-nya, utusan
Siwa mencegahnya. Arwah Gunanidhi yang telah mati tertahan di kuil itu,
melakukan puasa dan menyaksikan pemujaan Siwa, iapun menghidupkan cahaya
lentera di kuil itu. Semua dosanya terhapus. Kemudian ia dibawa ke Siwaloka,
bukan ke neraka. Utusan Siwa diperintahkan untuk tidak menyentuh siapapun yang
memuja Siwa – siapapun itu.
Kemudian Gunanidhi terlahir sebagai putra seorang raja di kerajaan Uthal. Ia
bernama Damana. Dalam kehidupannya sebagai Damana, ia adalah pengikut dharma,
yang berbakti dan melakukan kebenaran. Kemudian ketika ia meninggal iapun
menjadi cucu Brahma Wiswavasu. Karena kebaikan yang ia lakukan dalam
kelahirannya terdahulu, ia mampu melihat kelahirannya di masa lalu. Ia
menjalani kehidupan sebagai seorang pemuja Siwa yang taat. Ia memasang Lingga
Siwa di tepi sungai Bhagirathi dan kemudian melakukan tapasya. Dewa Siwa amat
berkenan dengan pemujaan yang ia lakukan, Iapun bermanifestasi dengan
pasangannya, Shakti. Pasangan Siwa dan Shakti ini memberkahinya dengan wujud yang
menakjubkan dan menamainya Kubera. Kemudian Kubera diberikan kekuasaan untuk
memerintah Alakapuri. Ketika Kubera meminta anugerah, Dewa Siwa akan tinggal di
dekat Alakapuri agar ia bisa dekat dengan pemujanya.
Setelah mencapai tempat tinggalnya, Dewa Siwa memainkan dhamaruka. Nada (suara
yang berasal dari dhamaruka) memenuhi jagat-raya. Semua malaikat dan dewa
datang kesana untuk mendapatkan Darsana Siwa. Banyak sekali para rsi, orang
suci dan pemuja lain serta siwa gana dengan para pemimpinnya datang dengan
tangan tercakup dan membungkuk memberikan penghormatan. Bangunan yang sangat
besar dibuat agar dapat memuat semua orang oleh Vishwakarma. Dewa Siwa
menempati kediamannya. Setelah itu semuanya kembali ke rumah mereka. Sehingga
Siwapun memberikan Kubera sahavasa-Nya (menemaninya).
Para rsi dan orang suci meminta Suta bagaimana shaktinya adalah putri Daksha
dan juga putri Himavan. Kemudian Suta menjelaskan cerita tentang kisah surgawi,
untuk mendengarkan cerita yang suci dan memberikan keberuntungan.
Cerita Tentang Kshupa dan Dadichi
Dadhichi adalah seorang pemuja Siwa yang taat. Ia memiliki seorang teman baik
seorang Raja Kshatriya, Kshupa yang adalah pemuja Wisnu. Tetapi karena hari
yang buruk keduanyapun bertengkar. Masing-masing merasa bahwa mereka yang
paling baik. Sang Raja adalah seorang kshatriya dan Dadhichi adalah seorang
Brahmana.
Dalam amarah, Dadichi memukul sang raja dengan knuckles
nya. Karena jugamarah sang Raja pun memukulnya dengan permata. Pada saat jatuh,
Dadichi ingat kepada Sukracharya, guru para raksasa. Sukra memberinya
Mrutyunjaya mantra. Siwalah yang dipuja apabila mengucapkan mantra itu. Ketika
Ia Muncul, ia memujanya dan memohon agar tulangnya kuat seperti batu permata.
Ia juga memohon dua hal lagi; tidak akan bisa dibunuh oleh siapapun dan tidak
akan pernah terhina.
Kemudian Dadhichi melanjutkan pertarungan itu dan menendang Kshupa di dadanya.
Raja kemudian memukul Brahmana itu dengan permatanya, tetapi Brahmana ini tidak
terluka. Mengetahui ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan, Kshupa melarikan
diri dan bertapa di hutan. Wisnu kemudian muncul dan memberitahu bahwa pemuja
Siwa adalah bagaikan Siwa sendiri. Keduanya menuju pertapaan Dadhichi. Ia
meminta Dadhichi untuk menyerah, tetapi ia menolak. Kemudian Wisnu
bermanifestasi dengan virata-rupa-nya. Dadichi memberitahu Wisnu bahwa dengan
berkah Siwa pula ia bisa menunjukkan Viraat rupa-nya.
Kshupa sangat terkesima. Brahma datang menemui Dadichi dan ia mengutuk Wisnu.
Kemudian Kshupa memberitahu Brahma, bahwa ialah yang salah.
Walaupun orang-orang meninggal pada saat yajna Daksha, dengan satu mantra dari
Dadhichi maka mereka akan terlahir kembali. Itulah berkah Dadhichi. Ia
mengatakan bahwa semua yang terbunuh di dekat tempat yajna maka atas lila Siwa
akan hidup lagi.
Cerita ini semakin jauh sehingga setelah yajna Daksha posisi kepemimpinan para
gana jatuh ke tangan Virabadhra.
Siwa berkenan, menghidupkan kembali
Daksha
Setelah Virabhadra kembali ke Kailasha, mereka yang bersembunyi dan melarikan
diri keluar. Mereka bersedih atas mereka yang terbunuh. Brahma dan Wisnu datang
dan mengajak mereka ke Kailasha untuk berdoa pada Siwa. Siwa muncul dan melihat
tempat dimana yajna dilakukan. Hatinya tersentuh. Ia memanggil Virabhadra dan
memerintahkannya untuk membunuh bahkan orang suci sekalipun. Semua yang mati
kemudian dihidupkan kembali. Siwa kemudian memotong kepala kambing dan
meletakkanya di tubuh Daksha yang tanpa kepala. Kemudian Daksha hidup kembali
mengagungkan nama Siwa.
Siwa juga sangat berduka atas hilangnya pasangannya, Sati. Tetapi ia tahu bahwa
Sati adalah bagian yang tidak berbeda dari dirinya.
Kemudian Muni Suta menceritakan bagaimana Uma terlahir sebagai putri Daksha
untuk membuat Daksha senang. Kemudian ia menjadi Uma – Parwati- putri Himavan.
Sebenarnya Ia tidak pernah pergi dari Siwa.
Cerita tentang Menaka Dhanya –
Kalawati
Kemudian para rsi dan orang suci meminta Maharsi Suta untuk menceritakan pada
mereka bagaimana Mahamaya menjadi Hymavathi.
Adalah hal yang sangat agung menjadikan Ibu Mulia sebagai putri seseorang.
Karena Himavan juga pemuja yang taat seperti Daksha, ia juga bisa memiliki
Parwati sebagai putrinya.
Swadha, salah-satu dari putra Daksha, menikah dengan Pitara. Mereka memiliki
tiga putri, Menaka, Dhanya dan Kalavati. Ketiganya diselamatkan dari kutukan
Sanata Kumara – Menaka terlahir dari istri Himavan dan akan menjadikan Shakti
sebagai putrinya dan Siwa sebagai menantunya. Kalavati lahir kemudian sebagai
Radha dari Goloka da Dhanya sebagai istri Rsi Janaka.
Cerita tentang Vajraangga
Kemudian Suta melanjutkan bercerita
lagi tentang Vajrangga.
Diti adalah istri Prajapati Kashyapa. Ia memiliki Vajrangga yang membuat Indra
terpenjara. Tetapi Brahma dan yang lainnya meminta agar Indra dilepaskan.
Vajrangga sebenarnya adalah orang yang satwika. Ia diajarkan jnaana sama
seperti Brahma. Vajraanga menikah dengan Varaangi. Suatu hari Varaangi melayani
suaminya dengan sangat baik dan suaminyapun memintanya untuk meminta anugerah.
Ia meminta seorang putra yang akan membuat Dewa Wisnu (Hari) bersedih dan mampu
menguasai ketiga dunia. Kemudian Vajraanga melakukan tapasya. Varaangi
melahirkan seorang putra. Kashyapa memberinya nama Taraka. Ia diajarkan menjadi
seorang raksasa yang tangguh baik oleh ibu maupun neneknya. Ia mewarisi
kesaktian dari para leluhurnya dan iapun kemudian melakukan tapasya. Karena
pengabdian dan juga tapasyanya, ketiga dunia mulai berguncang. Brahma muncul.
Taraka meminta sebuah anugerah bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh Dewa Siwa
maupun Dewa Wisnu. Hanya ia yang terlahir dengan kesucian yang amat tinggi yang
akan bisa membunuhnya. Tidak mampu mengatakan atau melakukan apapun, Brahma
mengabulkan permohonan Taraka itu.
Taraka mengalahkan Kubera, mengalahkan Chandra, menakuti Yama dan mengusir
Indra dari Sabhanya. Semua dewa memohon perlindungan dari Brahma. Brahma menyuruh
mereka menemui Wisnu. Mereka setuju dan kemudian mencari cara untuk membujuk
Siwa untuk memiliki putra. Hanya Menaka, yang adalah istri Himavan yang bisa
membantu. Mahamaya telah bersumpah bahwa jika Daksha bersikap kasar padanya
atau pada Dewa Siwa ia akan terlahir menjadi putri Himavant. Semua meminta
pertolongan Himavan.
Himavan sangat berbakti pada Tuhan dan sangat disiplin. Ia mengambil Menaka
sebagai istri dan mereka hidup berbahagia dan harmonis. Para dewa memuja
dampatya (bersuami-istri dengan bahagia) mereka dan meminta mereka untuk
melahirkan seorang putri. Pasangan ini melakukan tapasya setelah melalui sebuah
inisiasi. Adishaktilah yang dipuja. Ia bermanifestasi dan memberikan anugerah
bahwa mereka akan memberi mereka putra terlebih dahulu dan kemudian Ia akan
berinkarnasi sebagai putrinya.
Kelahiran Parwati
Segera setelah Menaka diberkahi dengan seorang putra, Ia diberinama Mynak.
Kemudian Menaka hamil kembali. Walaupun hamil, ia nampak bercahaya. Segalanya
dijaga agar ia bahagia dan merasa nyaman. Ketika putri mereka lahir mereka
sangat bahagia. Langit amat cerah dan para dewa memainkan musik yang indah.
Para Gandharwa menyanyi. Apsara menari. Para dewi-dewi menyanyikan lagu tentang
keagungan Ibu Mulia.
Ibu Mulia terlahir sebagai seorang putri. Ia diberi nama Kali karena kulitnya
yang gelap namun bercahaya. Ia adalah putra Parvata (gunung). Ia kemudian
diberinama Parwati. Ia bermain dengan anak seusianya dan kemudian iapun mendapatkan
pelajaran dari seorang guru.
Suatu kali Narada mendatangi Himavant yang menerimanya dengan penuh
penghormatan. Ayah yang sedang berbahagia ini meminta Narada untuk memberitahu
mereka tentang masa depan putrinya. Narada sangat bahagia mendapatkan
kesempatan menyentuh telapak tangan bayi mungil itu, untuk melihat masa
depannya. Narada memberitahu orang-tua bayi itu bahwa putri mereka kelak akan
berjodoh dengan Paramashiwa dan kemudian ia akan dikenal dengan nama Ibu Mulia.
Tetapi Himavant khawatir. Bagaimana seorang Yogi dan juga seorang bujang
menikah? Bagaimana Dewa Siwa bisa tertarik dengan seorang wanita, menikah dan
menjalani hidup biasa?
Kemudian ada juga keraguan lain. Anggap saja ia bisa melakukan semuanya,
menikah dan yang lainnya, tetapi bagaimana ia bisa melupakan Dakshayani?
Narada mengetahui keraguan Himavant, iapun tertawa. Sang rsi meyakinkan bahwa
apapun yang terjadi di masa lalu mengarah akan perkawinan Dewa Siwa dan Parwati
di masa depan.
Setelah Narada pergi pasangan suami sitri ini mengajak putri mereka untuk
memuja Dewa Siwa. Pada saat yang tepat, mereka membawa Dewi Parwati menemui
Pashupati.
Kelahiran
Kuja
Karena merasakan kesedihan yang mendalam berpisah dengan Dakshayani, Dewa Siwa
melakukan tapasya. Dari tetes keringat dari dahinya, seorang bayi terlahir
dengan empat tangan, mengeluarkan cahaya merah yang menarik perhatian. Karena
Dewa Siwa masih bersedih maka Ibu Bumi yang memberinya susu. Melihat hal ini,
Dewa Siwa tersenyum dan meminta agar ialah yang membesarkan bayi itu.
Bayi ini kemudian menjadi dewasa dan bernama Bhauma yang kemudian pergi ke
Kashi dan memuja Siwa. Siwa memberkahinya dan memintanya untuk pergi ke Sukra
Loka dan menjadi satu dengan sembilan planet. Kemudian muncullah Bhauma yang
juga dikenal sebagai Angaraka, Mangala dan Kuja.
Ketika Dewa Siwa kembali ke Himalaya, Himavant memujanya. Ia meminta ijin
darinya untuk meninggalkan putrinya, Parwati. Ia ingin memuja Siwa. Siwa tidak
setuju dan memberitahu hal ini pada Parwati. Tapi Parwati tidak buru-buru
menjawab. Ia mmberitahu Siwa bahwa ia tidak berada diatas Prakurti. Prakurti
bukanlah ilusi. Jika memang seperti itu, semua perenungan, semua tapasya harus
dihentikan. Purusha tidak bisa berdiri sendiri tanpa Prakurthi.
Kemudian Siwa mengatakan bahwa Ia hanya menggodanya. Ia bahagia mendengar
penjelasan Parwati. Ia kemudian mengijinkannya menyiapkan kebutuhan tapasyanya.
Walaupun Parwati telah menjaga Siwa dan semua kebutuhannya, tidak ada keinginan
atau benih hasrat apapun diantara mereka. Parwati sedikit kecewa karena ini
melukai egoismenya (ahamnya) tetapi ia tetap melakukan tugasnya dan melupakan
keegoisannya.
Waktu semakin lama berlalu, para dewa tidak sabar lagi. Mereka ingin pasangan
ini melahirkan putra sehingga Taraka akan mati dan semuanya kembali baik.
Indra mengirimkan Manmadha dan membujuknya untuk menemui Dewa Siwa dan
membangkitkan hasratnya dengan panah bunganya. Madan (Manmadha) juga mengajak
Vasanta dan juga istinya Rati dengan sebuah kereta yang ditarik oleh burung
kakaktua.
Dewa Siwa sedang melakukan tapasya di Oshadha prasta (tempat dimana
tumbuh-tumbuhan obat tumbuh). Vasanta diminta untuk mengatur suasana agar indah
untuk membangkitkan hasrat Dewa Siwa. Parwati datang ke tempat itu bersama
dengan para pelayannya. Semua kecantikan alam sekitar bahkan tidak sebanding
dengan sedikit kecantikan Parwati. Madan sendiri sangat terpesona dengan
kecantikan Parwati.
Kemudian Madan menembakkan panahnya. Dewa sangat terkejut karena ada yang
mengganggu tapasyanya. Dalam waktu singkat, ia bisa melihat alasan kenapa Madan
menembakkan panahnya – Kaama baan.
Sangat bahagia karena panahnya mengenai sasaran, Madan menembakkan panah
bertubi-tubi. Dewa Siwa sadar dari tapasyanya, maka panah bunga itu tidak bisa
mempengaruhinya. Madan bisa melihat akhir hidupnya telah datang. Ia berdoa pada
siapa saja yang bisa membantunya. Tetapi lirikan dari mata ketiga Dewa Siwa
adalah tanda yang cukup bagi Madan. Dalam sekejap, Madan telah terbakar menjadi
tumpukan abu. Rati menangis dengan pilu. Para dewa semua datang ke tempat itu.
Rati disarankan agar menyimpan abu Madan pada ujung sarinya oleh para dewa
sehingga jika Dewa Siwa berkenan, Ia bisa menghidupkan Madan kembali. Ia
menyimpan abu itu pada sarinya.
Para dewa membawa Rati menghadap Dewa Siwa dan berdoa serta memohon padanya.
Kemudian Dewa Siwa berkenan dengan doa Rati dan iapun berkata bahwa Madan akan
terlahir sebagai Pradyumna sebagai putra Rukmini dan Sri Krishna ketika Wisnu
berinkarnasi sebagai awatara. Sampai saat itu Madan tidak akan memiliki tubuh.
Setelah Pradyumna lahir ia akan mengalami kecelakaan. Rati juga harus berada di
kota Sambashiva. Setelah mengatasi kecelakaan yang menimpa dirinya, Pradyumna
akan membunuh Sambhava dan kemudian pasangan ini akan hidup bahagia selamanya.
Setelah membakar Manmadha, api dari dahi Siwa tidak padam. Brahma mendekat. Ia
mengarahkan api itu menuju lautan dimana api ini akan menjadi api bawah laut.
Berada ditengah dalamnya laut maka api ini tidak akan membahayakan dunia.
Parwati melihat Madan rubuh dan menjadi setumpukan abu yang sampai kerumahnya.
Parwati sangat bingung. Ia menemui kedua orang-tuanya dan semua orang dan tanpa
henti ia mengucapkan nama Siwa, Siwa, Siwa.
Indra, yang mengirimkan Madan untuk memanah Siwa juga mengirimkan Narada untuk
menemui Parwati. Ia kemudian menyarankan pada Parwati agar ia melakukan
tapasya, hanya dengan cara seperti itulah Dewa Siwa bisa didekati.
Tidak ada kecantikan apapun yang
bisa menarik perhatiannya. Ia hanya tertarik dengan kecantikan spiritual. Atas
permintaan parwati Narada memberikannya mantra Panchaksari Siwa dan iapun
menghilang.
Parwati memulai tapasyanya yang kusyuk untuk memuja Siwa. Ia mengatur
tubuhnya agar bisa melalui berbagai yoga. Ia tidak makan. Perlahan semua
makhluk disekeli
Solusi yang tepat jangan anda putus asah… KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI agen jallo DI NO: 085-283 790 444 ]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT..
BalasHapusSolusi yang tepat jangan anda putus asah… KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI agen jallo DI NO: 085-283 790 444 ]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT..