Selasa, 15 April 2014

PANGERAN PARIKESIT DAN DEWI KUNTI



Kisah Parikesit dan Dewi Kunti: Pencarian dan Keyakinan Seorang Bhakta

Dewi Drupadi histeris, lima putra dan semua saudaranya terbunuh pada malam hari selagi tidur seusai perang Bharatayuda. Aswatama telah membunuh seluruh keturunan Pandawa yang masih hidup, sebagai balas dendam atas kematian Drona, ayahandanya, yang menurutnya dilakukan Pandawa dengan penuh tipu muslihat. Arjuna bersama Sri Krishna mengejar Aswatama yang bersembunyi di pertapaan Abyasa, kakek para Pandawa dan Hastina. Saat Arjuna menemukan Aswatama, mereka berperang tanding. Akhirnya, Bramastra, senjata Brahma, senjata sangat canggih dari Aswatama dilepaskan. Arjuna merasakan bulu kuduknya meremang, dan diingatkan Sri Krishna untuk segera melepaskan senjata yang sama.

Saat kedua senjata mengudara, Abyasa berteriak menggelegar, “Batalkan segera arah senjata-senjata itu, apabila sempat bertemu dunia akan musnah dan kalian berdua harus menanggung akibatnya! “Arjuna dapat mengendalikan dan menarik kembali senjatanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Aswatama, dia belum mahir mengendalikan senjata tersebut dan agar tidak kembali dan membunuh dirinya maka senjata itu diarahkannya ke calon cucu Pandawa yang masih berada dalam kandungan, agar habis anak keturunan Pandawa.

Dewi Utari merasa ada sebuah gumpalan energi gelap mengejar dan mengancam kehidupan kandungannya dan dia memanggil nama Sri Krishna. Dewi Utari merasakan bahwa Sri Krishna memintanya duduk diam, menutup mata dan berdoa. Dewi Utari merasakan kedamaian, dan dalam bayangannya Sri Krishna telah masuk ke dalam kandungannya menunggu bramastra datang, kemudian menangkap dan membawa senjata itu keluar dari tubuhnya. Ada rasa kelegaan setelah bahaya yang mengancam bayi dalam kandungannya hilang. Bayinya telah diselamatkan Sri Krishna.

Aswatama kalah berperang tanding dengan Arjuna dan akhirnya diikat dengan tali dan digelandang secara memalukan. Sudah sepantasnya, karena dia telah membunuh putra-putra Pandawa di malam hari tanpa memperhatikan etika. Ternyata Drupadi minta Aswatama dilepaskan, dia ingat bahwa  ibu Aswatama akan merana bila dia dibunuh. Rupanya Drupadi telah dapat merasakan kesedihan seorang ibu yang putranya terbunuh. Arjuna berada dalam dilema, Drupadi, Yudistira dan kedua adiknya nampak mengharapkan agar Aswatama dilepaskan, sedangkan Bhima yang marah nampak mengharapkan dia untuk membunuh Aswatama. Arjuna memandang Sri Krishna yang tersenyum, seakan menunggu kebijakan apa yang akan dilakukan oleh dirinya. Arjuna paham maksud Sri Krishna, dan Arjuna memotong rambut kebrahmanaan Aswatama, mengambil permata di dahinya, dan mengusir Aswatama.  Sebuah solusi yang tepat. Nampak kelegaan pada wajah Bhima maupun yang lainnya. Akan tetapi bagi Aswatama itu adalah sebuah penghinaan yang amat keji. Menurut dia lebih baik dibunuh daripada diperlakukan sedemikian tidak hormat. Dia pergi dan dalam hati bertekad, “Ada suatu masa dimana anak keturunanku di Arwa Sthan menaklukkan negara anak cucu kalian!”

Kala Dewi Utari melahirkan, bayi putra almarhum Abimanyu tersebut diberi nama Wisnurata, karena dia telah dilindungi “Sang Wisnu” dan merupakan hadiah bagi kelangsungan dinasti Bharata. Akan tetapi Sri Krishna memanggilnya sebagai Parikesit, karena sejak masih dalam gendongan ia selalu memeriksa setiap orang yang ditemuinya, apakah orang yang ditemuinya adalah Sri Krishna yang menyelamatkannya ketika masih berada dalam kandungan ibunya atau bukan.

Parikesit begitu berbahagia kala melihat Sri Krishna, dan tanpa ragu tubuhnya bergerak-gerak dan menangis, minta dipangku Kakek Krishna. Suasana begitu hening, ada keharuan tak terkatakan saat Sri Krishna menggendong Parikesit. Semua orang di tempat kejadian tersebut menahan napas, dan air mata mereka meleleh tanpa henti menyaksikan luapan kasih antara seorang bayi dengan Sri Krishna. Bulu kuduk mereka meremang menyaksikan pertemuan antara dua jiwa suci. Isak tangis tertahan-tahan sahut-menyahut membangkitkan suasana haru. Mata bayi Parikesit dan Sri Krishna berkaca-kaca.

Beberapa hari setelah kelahiran Parikesit, Sri Krishna mohon pamit untuk kembali ke Dwaraka negara yang telah beberapa lama ditinggalkannya. Malam hari sebelum keberangkatan dirinya, Sri Krishna ditemui Dewi Kunti, adik dari ayahanda Sri Krishna. Adalah Dewi Kunti, ibu dari Pandawa yang menemuinya secara khusus. Dewi Kunti, adalah seorang wanita lansia yang telah menjadi nenek buyut dengan kelahiran Parikesit. Putra sulung Dewi Kunti, Yudistira pun sudah  tua. Akan tetapi gurat kecantikan dan ketabahan dalam menghadapi berbagai  penderitaan masih nampak yang membuat wajah Dewi Kunti nampak tegar dan dipenuhi sinar kasih.

Nampaknya sudah begitu lama, tumpukan kegelisahan yang ingin disampaikan kepada Sri Krishna tertahan oleh perasaan sungkan, dan kini ada kesempatan untuk mengungkapkannya. “Sri Krishna, aku adalah seorang yang bodoh, aku belum belajar Weda dan Brahmawidya, akan tetapi aku mengetahui kebenaran bahwa Engkau adalah Iswara, Tuhan yang mewujud. Engkau telah menyelamatkan putra-putraku berkali-kali. Engkau tahu bahwa Karna, putraku adalah seorang kesatria sejati yang pilih tanding, akan tetapi belum selaras dengan kebiasaan Pandawa yang sederhana. Engkau biarkan dia mati untuk menjunjung derajat kekesatriaanya, dan dikalahkan oleh putra tersakti sejagad, Arjuna. Putra-putra kami mendapatkan kerajaan kembali karena Engkau. Kala putra-putraku dalam kesusahan Engkau selalu datang membantu. Bahkan aku tahu, kala Drupadi dipermalukan oleh para Korawa, dan dia tidak dapat meminta tolong pada Pandawa maupun  Bhisma Putra Gangga, maka dia berteriak memanggil nama-Mu dan keajaiban terjadi, kainnya yang dilepaskan oleh Dursasana tak bisa habis karena kekuatan-Mu. Dia selamat karena dilindungi oleh-Mu”.

“Krishna ijinkan aku minta satu anugerah dari-Mu, semoga kesulitan demi kesulitan datang padaku agar aku selalu mengingat diri-Mu. Orang-orang bangsawan yang dilahirkan kaya dengan derajat yang tinggi mudah melupakan-Mu. Mereka cerdas mengetahui Weda akan tetapi diri mereka penuh ego dan angkuh karena kelebihan mereka. Aku percaya bahwa kau dilahirkan ke dunia untuk memenuhi janji-Mu bagi Sutapa dan Prisni. Engkau lahir untuk meringankan bunda bumi yang merasa terlalu berat dibebani adharma yang merajalela. Sri Krishna, tolong berilah aku pikiran untuk selalu terarahkan kepada-Mu. Seperti Sungai Gangga  mengalir dengan tulus ikhlas ke samudera dan tidak tertambat dengan berbagai keindahan di perjalanannya.” Dan perempuan sepuh tersebut berlutut dan menyembah kaki keponakannya.

Dewi Kunti terpanggil swadharmanya untuk mendampingi Pandawa di kala mereka mendapat kesusahan hidup. Setelah mereka menang perang Dewi Kunti tak ingin menikmati kesenangan duniawi. Selama masih menginginkan kesenangan duniawi, berarti dia belum sepenuhnya pasrah kepada Tuhan. Adanya keinginan duniawi menghambat keberadaan Tuhan di dalam diri. Dengan pasrah pada Tuhan, kehidupannya di dunia pun akan menjadi tanggungan-Nya. Sri Krishna segera mengangkat tubuh bibinya, dan berkata pelan, “Semoga demikian Bibi Kunti”. Dan butiran-butiran air mata jatuh dari kelopak mata Dewi Kunti dan Sri Krishna. Butiran air mata seorang  Awatara yang membasahi bunda bumi, dan menghidupkan semangat bunda bumi. Seakan-akan Sri Krishna memberkati bahwa setelah kepulangannya ke Dwaraka, Dewi Kunti akan meninggalkan istana, hidup sebagai Sanyasi di hutan, mendekatkan diri pada Tuhan sampai maut menjemputnya. Tubuh Dewi Kunti boleh tua dan memang harus mengalami ketuaan, tetapi semangatnya untuk mengabdi kepada Tuhan selalu muda. Karena Dewi Kunti, begitu yakin dengan kebijakan Sri Krishna, Dia yang bersemayam dalam hati nurani umat manusia. 
Kisah Parikesit: 7 Hari Menjelang Kematian

Kala itu Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan, pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi. Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.

Di dalam salah satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”

Saumika, sang resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak, peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni  pemahamanmu yang belum matang ini.”

Sang resi berkata dengan penuh kewibawaan, “Akibat kemarahan, kau telah melupakan swadharma seorang brahmana. Kewajiban brahmana adalah untuk memaafkan. Kau tidak dapat menarik kutukanmu. Setelah berpulang, sang maharaja akan dikenang sepanjang zaman, sedangkan kau, apakah ada yang masih mengingatmu setelah kau mati nanti?” Sang putra menangis penuh penyesalan, “Baik ayahanda, kami mohon ampun atas kesalahan kami, kami akan segera pergi ke istana dan mohon sang baginda mengetahui kutukan kami dan agar beliau dapat mempersiapkan diri.”

Sesampai di istana Raja Parikesit merasa menyesal, mengapa melakukan tindakan yang tidak perlu. Dirinya telah menganggap sang resi yang sedang bermeditasi angkuh, padahal dirinyalah yang angkuh. Orang menjadi tidak adil karena keangkuhannya. Rasa angkuh membuat orang menjadi keras kepala, merasa benar sendiri. Raja Parikesit sadar, bila keadaan ini dibiarkan makin lama ia menjadi makin keras dan akan bertindak tidak adil untuk mempertahankan pendapatnya.

Tidak beberapa lama, Sringi, putra resi yang yang dilecehkan sang maharaja datang dan menangis di hadapan sang maharaja dan mengatakan kesalahannya karena telah terlanjur mengutuk sang maharaja. Entah kekuatan apa yang membuat maharaja Parikesit memeluk Sringi, “Wahai putra resi, adalah keberuntunganku aku kau kutuk, sehingga aku tidak harus menanggung kesalahanku di kehidupanku mendatang karena telah berbuat tidak sopan dengan orang suci. Kau adalah utusan Tuhan, untuk menyampaikan berita yang tidak mungkin disampaikan oleh manusia biasa. Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana kuhadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku.”

Seandainya manusia tahu bahwa satu minggu lagi dia akan mati, dan dia boleh melakukan apa saja, maka tindakan apa yang perlu diambil? Sebuah pertanyaan yang menantang pikiran. Tetapi pikiran tetap tak dapat memutuskan yang terbaik, karena pikiran selalu diliputi keraguan. Sebuah jawaban akan disangkal yang lain. Manusia perlu belajar bagaimana maharaja Parikesit memutuskan mengambil tindakan apa saja sebelum kematiannya.

Sang maharaja segera menobatkan putranya sebagai raja pengganti. Dan, selanjutnya, dirinya pergi ke tepi Sungai Gangga. Para brahmana menghormati sang raja, karena meniru Pandawa, para kakeknya yang meninggalkan istana untuk mempersiapkan kematian. Akan tetapi mereka tidak dapat memberikan solusi yang tepat apa yang harus dilakukan Parikesit yang akan mengalami kematian dalam tujuh hari ke depan. Kejujuran dan ketidakpahaman tentang apa yang harus dilakukan menjelang kematian serta kepasrahan kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa menggerakkan Resi Shuka, Putra Bhagawan Abiyasa mendatangi Parikesit. Resi Shuka dengan pancaran ketuhanannya menemui Parikesit di tepi Sungai Gangga.

Bhagawan Abyasa mempunyai tiga putra, tokoh-tokoh Dinasti Bharata, yaitu Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura. Pandu Dewanata adalah kakek buyut Parikesit. Akan tetapi Bhagawan Abyasa juga mempunyai seorang putra yang berasal dari permohonannya kepada Hyang Maha Kuasa, yang diberi nama Shuka. Shuka yang masih muda bisa dikatakan adalah kakek buyut Parikesit. Banyak yang percaya bahwa Bhagawan Abyasa adalah seorang “chiranjiwin”, seorang yang dikaruniai umur panjang. Dan, hal tersebut adalah wajar karena dia menyusun Weda, kisah Mahabharata dan Srimad Baghawatam yang masih menjadi panduan bagi umat manusia. Selama buah pikirannya masih dipakai maka pikiran Sang Bhagawan masih menyertainya. Setelah kematian ketiga putranya, Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura yang merupakan para kakek buyut Parikesit, Bhagawan Abyasa mohon kepada Hyang Maha Kuasa untuk memberinya putra dengan kualitas yang sempurna. Pada suatu saat, kala Bhagawan Abyasa sedang menggesekkan kedua kayu arani untuk membuat api suci dalam ritual persembahan “agni homa”, dia sekelebat melihat hapsari cantik Ghritaci. Sang Bhagawan tahu bahwa terpikat pada seorang Hapsari dapat membuat banyak permasalahan seperti yang pernah dialami nenek moyang dinasti Bharata. Maka Sang Bhagawan terus melanjutkan ritualnya. Sang Hapsari juga takut dikutuk sang resi dan mengubah wujudnya sebagai burung Shuka, sejenis burung beo. Dari api suci itulah lahir Shuka. Kita masih ingat bahwa Bhagawan Abyasa menguasai Weda, sehingga dia pun pernah mengubah segumpal daging menjadi seratus Korawa, sebuah pengetahuan tentang kloning yang dikuasai dengan sempurna. Sang Bhagawan juga membuat Sanjaya, putra Widura dapat melihat perang Bharatayudha dan melaporkan pandangan mata langsung secara detail kepada Drestarastra. Kita juga masih ingat bahwa Dewi Kunti mempunyai mantra pemberian Resi Durwasa untuk melahirkan Yudistira, Bhima, Arjuna dan Karna dari elemen alami. Ilmu pengetahuan sudah sangat maju pada zaman itu.

Putra adalah keturunan. Buah pikiran kita juga merupakan anak hasil pikiran dan kesadaran kita. Shuka adalah putra dari hasil pikiran dan kesadaran Sang Bhagawan. Shuka putra dan murid dari Bhagawan Abyasa ini mempunyai ingatan yang sempurna yang mampu memahami Srimad Bhagawatham secara utuh. Julukan Shuka, sebenarnya dapat merujuk kepada memori sempurna. Shuka adalah jiwa yang diwujudkan dengan kelahiran.

Shuka bahkan lebih sempurna dari Bhagawan Abhiyasa, karena Shuka adalah putra ideal dari pikiran Sang Bhagawan.  Konon ketika Shuka melewati beberapa gadis yang sedang mandi telanjang, para gadis tidak mempedulikan Shuka, sang perjaka tampan. Akan tetapi ketika Bhagawan Abyasa menyusul Shuka di belakangnya, para gadis cepat-cepat menutupi diri mereka dengan pakaian, meskipun ia sudah tua dan seorang resi. Abyasa bertanya, mengapa dia tidak mempedulikan Shuka yang muda tetapi malu dengan dia yang sudah tua, mereka menjelaskan bahwa Shuka adalah “Samadrik”, orang yang melihat tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, tetapi Abyasa belum mencapai tahap itu. 

Tuhan Hyang Maha Kuasa campur tangan dalam urusan Parikesit yang pasrah terhadap-Nya tentang bagaimana cara yang tepat yang harus dilakukan menjelang kematiannya dalam tujuh hari ke depan. Resi Shuka berkata pada Parikesit tentang cara terbaik menghadapi kematiannya. Parikesit sangat berbahagia dengan dukungan moril Resi Shuka. Seorang resi tidak asal berbicara, semua yang diucapkan adalah sabda ilahi. Resi Shuka berkata, “Hormatku pada ayahandaku yang telah menyusun Bhagawata Purana, tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari teragung dalam hidupmu. Khatwanga saja bisa mencapai kaki Narayana dalam waktu 1 muhurta (48 menit). Umat manusia ke depan akan menerima manfaat dari kisah yang kuceritakan kepadamu. Potong tali ikatan keluarga dan duniawi, mandi dan duduk meditasi, persiapkan dirimu menghadapi kematian!” Manusia suka menunda, itulah sifat utama pikiran, manas, pikiran manusia, bila merasa saat ini kematian belum menjemput, lebih baik nanti saja melakukan persiapan untuk kematian. Demikian dilakukan sampai ajal menjemput dan manusia masih belum siap juga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar